Reporter: Muhammad Yazid | Editor: Azis Husaini
JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan ekspor komoditas nikel setelah 12 Januari harus terlebih dahulu melalui proses pengolahan dan pemurnian. Hal tersebut merupakan keputusan rapat bersama antara pemerintah, asosiasi, serta pengusaha tentang evaluasi batasan kadar minimum produk nikel yang boleh diekspor.
Dede Ida Suhendra, Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM menyatakan, pemerintah menolak usulan pengusaha yang meminta pembebasan ekspor bijih nikel olahan atawa sinter ore, dengan kadar sekitar 2%. "Sinter ore dapat diolah lagi menjadi nickel pig iron (NPI), nilai tambahnya justru lebih besar," kata dia usai mengikuti rapat evaluasi kadar minimum, Senin (6/1).
Pantauan KONTAN, rapat yang digelar di kantor Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara ini berlangsung cukup alot. Kalangan pengusaha meminta pemerintah melonggaran ekspor sinter ore agar keberlangsungan produksi izin usaha pertambangan (IUP) skala kecil tetap berlanjut hingga pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) di dalam negeri telah siap menampung produksi mereka.
Shelby Ihsan Saleh, Ketua Umum Asosiasi Nikel Indonesia (ANI) mengatakan, apabila produk akhir komoditas nikel hingga mencapai NPI, para pemegang IUP ataupun izin pertambangan rakyat (IPR) terancam menutup operasi. Sebab, pendanaan pengusaha kecil tersebut sangat terbatas untuk membangun smelter.
Shelby mengatakan, sejatinya sinter ore merupakan produk setara dengan konsentrat tembaga, konsentrat besi, ataupun olahan bauksit, sehingga masih layak diekspor. "Masih ada waktu untuk memberi masukan ke pemerintah, kami masih tetap protes hasil rapat tadi," ujarnya.
Shelby bilang, andaikata pembatasan ekspor komoditas nikel ini dipaksakan, ia khawatir keberadaan pengusaha lokal akan tergerus oleh masuknya investor asing dengan modal besar. Mereka itu telah mengakusisi pengusahaan tambang serta menggarap pengembangan smelter. "Perlu tahapan perlahan-lahan untuk menumbuhkan industri nikel di dalam negeri yang dilakukan oleh pengusaha lokal itu sendiri," ujar Shelby.
Andi M. Aminuddin, Direktur Utama PT Bhinneka Sekarsa Adidaya, produsen bijih nikel mengatakan, rencana perusahaannya membangun pabrik nickel pig iron (NPI) terancam terbengkalai apabila pemerintah melarang ekspor sinter ore. Menurutnya, pemerintah harus memberikan kebijakan yang adil bagi seluruh pengusaha mineral terkait program hilirisasi.
Sementara itu, Simon F Sembiring, Pengamat Pertambangan menyatakan, revisi aturan itu mestinya bukanlah mencari celah agar perusahaan bisa ekspor mineral mentah. Melainkan, perlu mempertegas klausul mengenai sanksi-sanksi yang akan diberikan pada perusahaan yang belum mampu memenuhi produk. Contohnya, pelarangan ekspor serta sanksi administratif lainnya.
Perbankan siap
Menanggapi masalah pendanaan pengembangan industri hilir bagi perusahaan mineral, Dede menuturkan, pengusaha lokal sejatinya tidak perlu resah dengan kendala permodalan. Sebab, menurut dia, sudah banyak perbankan nasional yang secara langsung meminta rekomendasi dari Kementerian ESDM terkait penyaluran kredit modal bagi IUP lokal.
Dengan demikian, seharusnya perusahaan pertambangan menyiapkan berbagai persyaratan untuk dapat memperoleh pinjaman perbankan. "Bank Mandiri sudah secara langsung datang ke saya, mereka menanyakan perusahaan mana saja yang membutuhkan dukungan dana. Perusahaan tinggal menyiapkan rencana jangka panjang sebagai syarat meraih pinjaman ini," jelasnya.
Dede menambahkan, hasil rapat pembahasan kadar minimum ini sejatinya belum keputusan final, sebab akan dibahas kembali dengan Kementerian Koordinator Perekonomian. Setelah itu, barulah disahkan menjadi revisi lampiran Permen ESDM Nomor 20/ 2013.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News