kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.965.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.830   0,00   0,00%
  • IDX 6.438   38,22   0,60%
  • KOMPAS100 926   8,20   0,89%
  • LQ45 723   5,45   0,76%
  • ISSI 205   2,17   1,07%
  • IDX30 376   1,61   0,43%
  • IDXHIDIV20 454   0,42   0,09%
  • IDX80 105   1,01   0,98%
  • IDXV30 111   0,45   0,40%
  • IDXQ30 123   0,28   0,22%

Tarif Internet di Indonesia Masih Dianggap Mahal, Ternyata Ini Sebabnya


Jumat, 28 Februari 2025 / 08:54 WIB
Tarif Internet di Indonesia Masih Dianggap Mahal, Ternyata Ini Sebabnya
ILUSTRASI. Tower Pulau: Menara telekomunikasi di Kabupaten Kepulauan Talaud, Kamis (29/8/2024). Kberadaan menara-menara telekomunikasi diperlukan untuk memperlancar sinyal telekomunikasi di daerah terluar Indonesia. KONTAN/Baihaki/29/8/2024


Reporter: Ahmad Febrian | Editor: Ahmad Febrian

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dalam sebuah acara pekan ini, Utusan Khusus Presiden Bidang Iklim dan Energi, Hashim Djojohadikusumo menyatakan, perluasan akses internet untuk semua warga  bisa mendongkrak pertumbuhan Indonesia dengan signifikan.

Ia mengutip riset McKinsey yang menyatakan, ketersediaan konektivitas internet dengan harga yang terjangkau bisa mempercepat laju pertumbuhan ekonomi Indonesia. 

Terkait tarif internet itu, Kamilov Sagala, Dekan Fakultas Hukum Universitas Mitra Bangsa menyatakan, pemerintah harus meneliti lebih dalam penyebab harga internet di Indonesia relatif mahal dibandingkan dengan negara ASEAN seperti Thailand dan Vietnam.

Industri telekomunikasi sendiri merupakan salah satu sektor yang sensitif baik itu dari harga maupun persaingan usaha. Saat ini harga layanan telekomunikasi ditentukan oleh banyak faktor. Seperti harga infrastruktur, beban regulasi (regulatory cost), layanan yang diberikan serta target konsumen.

Baca Juga: Regulasi Batas Usia di Dunia Digital Perlu Kajian Mendalam  

"Jika pemerintah ingin harga layanan telekomunikasi di Indonesia murah dan memiliki kualitas yang baik, pemerintah harus bisa memangkas regulatory cost yang saat ini besar," kata Kamilov, JUmat (28/2). 

Menurut Kamilov, pemerintah selama ini mendapatkan penghasilan atas sumber daya terbatas yaitu frekuensi dengan melakukan lelang. Lelang tersebut menjadi Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) di sektor Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi).

Selain itu, negara mengenakan kewajiban pelayanan universal (USO) untuk setiap pendapatan kotor yang didapatkan operator telekomunikasi. Semua beban ini masuk kedalam regulatory cost. 

Berapapun pendapatan operator telekomunikasi, pemerintah akan memungut PNBP. Baik dari lelang frekuensi dan biaya tahunan frekuensi, PNBP jasa telekomunikasi dan biaya USO.  “Belum lagi operator telekomunikasi menanggung beban pungutan biaya dari di daerah," tegas Kamilov. 

Akibat dari industri yang tak sehat, Kamilov mengatakan sudah banyak perusahaan telekomunikasi yang mati. Perusahaan yang masih dapat bertahan mereka juga sudah menjual aset mereka. 

Ppemerintah dan regulator telekomunikasi kita abai kepada penyelenggara layanan over the top (OTT). Kehadiran OTT ini tentu saja menggerus pendapatan operator telekomunikasi," ujarnya. 

Mengenai lelang frekuensi 1.4Ghz, Kamilov mengatakan Komdigi harus mempertimbangkan dengan betul aspek persaingan usaha.  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×