Reporter: Filemon Agung | Editor: Azis Husaini
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) menyusut hingga 100% dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030.
"Sekarang belum final angkanya tapi diangka 2.395 MW tambahan kapasitasnya," ungkap Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Dadan Kusdiana kepada Kontan.co.id, Minggu (20/6).
Merujuk data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) penambahan kapasitas pembangkit dalam RUPTL 2021-2030 yang tengah disusun mencapai 40.967 MW (40,96 GW) dimana kapasitas PLTP mencapai 2.395 MW.
Jika dirinci maka pada tahun 2021 sebesar 136 MW kemudian bertambah 108 MW pada 2022 dan 190 MW pada 2023 serta ditahun 2024 kapasitas panas bumi bakal bertambah 131 MW.
Pada tahun 2025 kapasitas PLTP bakal bertambah cukup signifikan sebesar 676 MW, kemudian sebesar 235 MW pada 2027. Selanjutnya di 2028 sebesar 370 MW, 2029 kembali bertambah sebesar 314 MW dan di 2030 bertambah 3 MW.
Kendati demikian, penambahan pembangkit PLTP dalam RUPTL 2021-2030 yang sebesar 2.395 MW ini lebih rendah ketimbang yang direncanakan dalam RUPTL 2019-2028 yang masih berlaku saat ini. Dalam RUPTL saat ini, penambahan PLTP direncanakan mencapai 4.607 MW.
Direktur Panas Bumi Direktorat Jenderal EBTKE Kementerian ESDM Harris menuturkan secara umum upaya meningkatkan EBT dalam penyediaan energi nasional semakin besar.
Asal tahu saja, Pemerintah menargetkan porsi pembangkit EBT dalam RUPTL terbaru bisa mencapai 48% atau meningkat ketimbang RUPTL sebelumnya yang hanya sekitar 30%.
"Ini bukti keseriusan pemerintah mengimplementasikan program transisi energi dari berbasis energi fosil menuju green energi," ujar Harris kepada Kontan.co.id, Minggu (20/6).
Harris melanjutkan, sejauh ini masih terdapat sejumlah tantangan dalam upaya pengembangan panas bumi antara lain aspek keekonomian untuk menuju harga listrik dibawah US$ 10 cent per kWh, aspek perizinan terkait lahan khususnya yang terletak di kawasan hutan konservasi, aspek sosial hingga keseimbangan supply dan demand listrik serta tantangan sisi pembiayaan.
"Debottlenecking saat ini antara lain program government drilling yang dimulai dari survei, penyediaan infrastruktur jalan dan wellpad hingga eksplorasi slim hole sebelum Wilayah Kerja Panas Bumi ditawarkan ke badan usaha," jelas Harris.
Sementara itu, Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Darma mengungkapkan penambahan kapasitas PLTP yang lebih rendah dikarenakan realisasi pemanfaatan panas bumi yang selama ini lebih rendah ketimbang target yang dicanangkan.
Kendati demikian, Surya menilai rendahnya realisasi justru disebabkan oleh kebijakan dan kondisi yang menyebabkan panas bumi tidak memiliki daya tarik untuk memperoleh pendanaan dari investor.
Surya menilai, dengan tajuk Green RUPTL maka panas bumi seharusnya menjadi opsi yang perlu dipertimbangkan. "Seharusnya, diantara jenis EBT yang masuk sebagai pengganti harus bisa jadi base load dan itu hanya ada pada PLTP dan sebagian PLTA," terang Surya kepada Kontan.co.id, Minggu (20/6).
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengungkapkan upaya transisi energi khususnya disektor kelistrikan kemungkinan tidak berjalan dengan mudah.
Hal ini tercermin dari ketergantungan penyediaan listrik dari batubara yang masih mendominasi. "ReforMiner menilai dari sejumlah jenis EBT yang dimiliki Indonesia, sumber energi panas bumi dapat dikatakan merupakan jenis EBT paling potensial untuk dapat mengakomodasi kebijakan transisi energi di sektor kelistrikan Indonesia," ujar Komaidi.
Potensi panas bumi di Indonesia mencapai 29.544 MW atau setara dengan 47,30 % dari total kapasitas pembangkit di Indonesia yang sampai dengan Desember 2020 tercatat sebesar 62.449 MW.
Selain itu, produksi listrik dari panas bumi dapat berperan sebagai base load sebagaimana produksi listrik yang selama ini diproduksikan dari gas dan batubara.
Keunggulan yang lain, Capacity Factor (CF) pembangkit listrik panas bumi (PLTP) dapat mencapai kisaran 90 %, yang mana lebih tinggi dari CF PLTS yang tercatat sekitar 18% dan PLTB sekitar 30%. Adapun, dari total kapasitas terpasang pembangkit yang kini sebesar 62,44 GW, PLTP berkontribusi sekitar 5%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News