kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Urus Freeport, Pemerintah mengaku sakit kepala


Jumat, 15 September 2017 / 19:12 WIB
Urus Freeport, Pemerintah mengaku sakit kepala


Reporter: Pratama Guitarra | Editor: Sanny Cicilia

KONTAN.CO.ID - Perundingan antara pemerintah dan PT Freeport Indonesia (PTFI) belum banyak berkembang setelah CEO Freeport McMoRan.Inc, Richard Adkerson menyatakan sepakat dengan syarat pada tanggal 29 Agustus 2017 lalu.

Ketika itu, pemerintah khususnya Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan dan Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa atas perintah Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) detil kesepakatan diberikan waktu satu minggu. Artinya, sudah harus selesai pada Rabu tanggal 6 September 2017.

Namun, hal ini masih belum juga rampung. Bisik-bisik, pemerintah dibuat sakit kepala untuk merumuskan detail ini, khususnya soal perhitungan valuasi harga divestasi 51%, rumusan hitungannya masih belum pas. Apalagi Freeport meminta supaya valuasi harga melalui mekanisme harga pasar dengan memasukan cadangan sampai tahun 2041.

Adapun siapa yang akan mengambil divestasi saham 51% ini, pemerintah juga masih adu kuat dengan persepsinya masing-masing. Sumber KONTAN dari Kementerian ESDM mengatakan, internal juga belum semua sepakat bahwa Holding BUMN Pertambangan yang akan mengambil saham yang akan dilepas Freeport tersebut.

"Ada yang kekeuh pemerintah yang harus ambil, bukan Holding BUMN Pertambangan," terangnya kepada KONTAN, Jumat (15/9). Namun, dia enggan menyebutkan siapa yang orang tersebut.

Selain divestasi, yang masih sulit untuk diselesaikan yaitu mengenai penerimaan negara. Secara agregat penerimaan negara yang akan dikeluarkan oleh Freeport harus lebih besar dari sebelumnya. Nah, sumber KONTAN mengatakan bahwa pemerintah tengah kebingungan untuk mengeluarkan formula baru. 

"Karena tetap pakai nail down, seperti yang sekarang. Tapi, pendapatan negara harus lebih besar. Pemerintah pusing akan buat formula yang seperti apa kalau pakai nailedown," terangnya.

Asal tahu saja, terkait divestasi 51% dan stabilitas investasi itu penyelesaiannya menjadi tanggung jawab Kementerian Keungan dan Kementerian BUMN. Adapun tugas Kementerian ESDM menerima hasil detil hitungan keduanya, yang nantinya akan dimasukan kedalam status baru Freeport Indonesia yakni Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).


Terancam deadlock, ekspor dihentikan


Sekadar mengingatkan, sejak April bulan lalu sampai Oktober bulan depan, Freeport memiliki dua status yakni Kontrak Karya (KK) dan IUPK. Kenapa? Apabila Freeport masih memakai status Kontrak Karya maka kegiatan ekspor konsentrat tembaganya di hentikan sejak 12 Januari 2017. Itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 01/2017 perubahan dari PP 77/2014 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).

Dalam poinnya disebutkan bahwa yang bisa melakukan kegiatan ekspor hanyalah Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang sudah atau akan membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral (smelter).

"Jika perundingan belum selesai melewati batas waktu Oktober. Maka Freeport kembali ke Kontrak Karya dan kegiatan ekspor otomatis dihentikan," tandasnya.

Juru Bicara Freeport Indonesia, Riza Pratama menyatakan bahwa belum ada kemajuan apa-apa selain hal-hal yang dibicarakan pada tanggal 29 Agustus lalu. Ditanya perihal ekspor sampai Oktober ia enggan berkomentar lebih banyak. "Semoga bisa lancar. Maaf saya tidak boleh kasig pernyataan," tandasnya.

Asal tahu saja, semenjak tanggal 29 Agustus lalu, CEO Freeport McMoRan Richard Adkerson menginap hampir tiga minggu di Indonesia menunggu detil yang masih digodok oleh pemerintah. Kabarnya, Richard menginap di Hotel Fairmont, Senayan, Jakarta. 

"Beliau baru pulang tadi pagi," pungkas Riza.

Direktur Eksekutif Kolegium Jurist Institute (KJ Institute), Ahmad Redi menilai pembelian saham divestasi 51% di masa akan berakhirnya Kontrak Karya merupakan kebijakan yang pada dasarnya merugikan Indonesia. Karena, pada dasarnya tanpa membeli saham divestasi pun pada 2021 setelah berakhirnya kontrak karya pemerintah dapat memiliki 100% wilayah eks Freeport.

“Membeli saham divestasi 51% menjelang berakhirnya kontrak karya, sama saja dengan membeli sesuatu yang sebentar lagi menjadi milik pemerintah," tandasnya.

Sesungguhnya, kata Ahmad Redi, dalam Kontrak Karya perpanjangan 1991 sudah ada kewajiban divestasi saham Freeport yang harusnya pada 2011 sudah 51% dimiliki pemerintah, namun faktanya hingga detik ini kewajiban divestasi 51% tidak direalisasikan Freeport.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×