kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,52%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

APGI: Pembatasan Pemakaian Gas Ancam Kelangsungan Industri Gelas Kaca


Senin, 06 Mei 2024 / 09:43 WIB
APGI: Pembatasan Pemakaian Gas Ancam Kelangsungan Industri Gelas Kaca
ILUSTRASI. PGN berniat membatasi pasokan gas


Reporter: Dimas Andi | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Produsen Gelas Kaca Indonesia (APGI) mengaku mengalami kendala dalam memperoleh suplai gas bumi dengan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT).

Ketua APGI Henry T. Susanto menyampaikan, sudah beberapa tahun terakhir PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) membatasi pasokan gas kepada para anggota APGI dengan mengenakan alokasi gas industri tertentu (AGIT) baik harian maupun bulanan.

Jika pemakaian gas melewati ambang batas kuota, maka pabrik harus membayar gas dengan harga US$ 15 per MMBTU. Angka ini jauh di atas harga yang diberikan pemerintah melalui Keputusan Menteri ESDM No. 91/2023 yakni US$ 6,5 per MMBTU.

Masalah pembatasan penggunaan gas ini awalnya terjadi di Sumatra bagian utara. APGI menyebut, pada 2023 lalu anggotanya yang berada di Sumatra Utara diberikan kuota pemakaian gas harian rata-rata sebesar 25,1%, sedangkan Jawa Timur sebesar 67,64% dan Jawa Barat sebesar 67%.

Lantaran pembatasan ini, maka anggota APGI terpaksa mengurangi produksi atau membayar biaya gas dengan harga rata-rata lebih tinggi.

“Kalau mengikuti kuota gas, maka rata-rata pabrik membayar biaya gas hampir US$ 9 per MMBTU,” ujar dia, Minggu (5/5) malam.

Baca Juga: Asaki Kembali Keluhkan Gangguan Suplai Gas Bumi di Industri Keramik

APGI pun mengeluhkan rendahnya kuota pemakaian gas HGBT harian di Sumatra Utara yang rata-rata hanya di kisaran 25%. Dengan jatah seperti itu, pabrik gelas kaca hanya bisa sekadar menyalakan tungku pembakaran saja, tetapi tidak dapat berproduksi.

Ditambah lagi, informasi besaran pembatasan pemakaian gas disampaikan dalam waktu singkat, sehingga para pelaku usaha gelas kaca tidak sempat menghitung biaya produksi dan harga jual produknya.

“Padahal, biaya energi memakan 25% dari total biaya produksi,” kata Henry.

Sebagai akibat masalah tersebut, para anggota APGI terpaksa memangkas produksi untuk menghindari risiko harga gas mahal. Jika ini terjadi secara berkepanjangan, pabrik gelas kaca bisa saja terpaksa mengurangi tenaga kerja dan melakukan pemutusan hubungan karyawan (PHK).

Dalam situasi pelik seperti saat ini, para pelaku usaha gelas kaca juga terpaksa menunda rencana perbaikan fasilitas atau pengembangan produksi.

Baca Juga: PGN Berlakukan Kuota Gas Bumi untuk Pelanggan, Ini Alasannya

APGI mengaku, PGN sudah memanggil satu kali asosiasi untuk menjelaskan masalah pembatasan pemakaian gas. “Tapi bukannya mencari solusi, mereka justru curhat masalah sendiri,” imbuh Henry.

Lebih lanjut, APGI sudah mengirim surat ke pemerintah baik melalui Kementerian Perindustrian (Kemenperin) maupun Kementerian ESDM, namun belum mendapat jawaban konkret atas masalah yang terjadi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×