kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45931,36   3,72   0.40%
  • EMAS1.320.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Asosiasi serat dan benang nilai kebijakan ekspor Indonesia gagal fokus


Minggu, 18 Februari 2018 / 16:55 WIB
 Asosiasi serat dan benang nilai kebijakan ekspor Indonesia gagal fokus
ILUSTRASI. Suasana Pelabuhan Tanjung Priok


Reporter: Eldo Christoffel Rafael | Editor: Sanny Cicilia

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI), menilai kinerja ekspor nasional yang kalah dari negara tetangga adalah buah dari kebijakan ekspor yang gagal fokus.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta bahwa dalam beberapa tahun ini minim dukungan pemerintah untuk meningkatkan daya saing.

“Berapa banyak kebijakan ekonomi dibuat, tidak banyak yang bisa terimplementasi dan dirasakan oleh industri sehingga tidak berpengaruh signifikan terhadap peningkatan daya saing” kata Redma dalam keterangan pers, Minggu (18/2).

Menurut dia, tanpa meningkatkan daya saing dan insentif, mustahil ekspor bisa bersaing. Redma kemudian menyebutkan beberapa kebijakan seperti harga gas yang sudah ada PERPRES 40/2016 namun tidak diimpelentasikan Kementerian ESDM. Begitu juga diskon tarif listrik yang sudah ada di kebijakan ekonomi III namun tidak diimplementasikan PLN.

Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir keluar kebijakan yang justru menambah beban dan mengganggu kinerja industri.

“Setiap libur nasional dan cuti bersama Kementerian Perhubungan menutup jalan tol untuk angkutan barang, sering pula kebijakannya berubah dadakan, ekspor harus ditunda 3-4 hari, impor kena demurrage, industri yang jalan 24 jam tidak tersuplai bahan baku, lewat jalan arteri bentrok dengan tempat wisata, biaya transportasi naik 2 kali lipat, ini kondisi disinsentif buat industri,” ungkapnya.

APSyFI memahami bahwa saat ini pemerintah sedang fokus untuk membangun infrastruktur yang seharusnya sudah dibangun sejak 10 tahun lalu. Pihaknya yakin bahwa infrastruktur yang dibangun akan sangat meningkatkan dayasaing produk nasional.

“Jadi selama pemerintah masih fokus bangun infrastruktur, andalan kita pasar domestik, kalau mau tetap dorong ekspor itu permasalahan energi, transportasi dan lainnya harus diselesaikan dulu,” jelas Redma.

Namun Redma kemudian menambahkan bahwa merebut pasar lokal juga bukan pekerjaan mudah. Pasalnya Kementerian Perdagangan justru getol ingin membuka keran mempermudah impor dengan alasan bahan baku untuk Industri Kecil Menengah (IKM) dan meningkatkan ekspor. “Alhasil kinerja industri hulu dan antara kian terpojok, bahkan tidak sedikit yang tutup,” jelas Redma.

Kawasan Berikat yang diberikan fasilitas untuk ekspor justru sebagian besar produknya masuk ke pasar domestik sehingga mengganggu kinerja industri sejenis yang tidak mendapatkan fasilitas. “Ini kebijakan jadi blunder tidak jelas” tegas Redma.

APSyFI berpendapat bahwa pengendalian impor sangat penting bagi industri dalam negeri untuk mendapat pasar domestik sebelum melangkah ke pasar ekspor. “Semester 2 tahun lalu kinerja industri sangat terbantu oleh gebrakan Kementerian Keuangan yang menghentikan impor borongan, penjualan lokal kita langsung melonjak,” jelasnya.

Namun lagi-lagi pelaku usaha dibuat risau dengan impor yang kembali dibuka untuk pedagang melalui Pusat Logistik Berikat (PLB) dengan alasan bahan baku untuk IKM. “Disini sangat terlihat jelas bagaimana kuatnya lobi para importir, sehingga kami merasa bahwa pemerintah lebih pro importir pedagang dibanding industri,” tegasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×