kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Bola panas bernama harga beras


Rabu, 10 Januari 2018 / 14:49 WIB
Bola panas bernama harga beras


Reporter: Anggar Septiadi, Lidya Yuniartha | Editor: Sanny Cicilia

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah berjanji menggelar operasi pasar beras untuk meredam harga. Maklum, harga beras justru makin liar semenjak beleid Harga Eceran Tertinggi (HET) diterapkan September 2017. Bahkan Januari 2018, harga beras sudah menembus HET akibat minimnya stok.

Kemarin, sejumlah Menteri Kabinet Kerja berembug dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) untuk membahas masalah beras. Tampak hadir Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa, Menteri Perekonomian Darmin Nasution, Menteri Pertanian Amran Sulaiman, dan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita.

JK menyatakan, opsi impor terbuka jika harga beras medium terus naik dan menyentuh Rp 12.000 per kilogram. Sesuai HET, harga beras medium Rp 9.450 per kg. "Opsi impor tidak dilarang, jika memang diperlukan," kata JK, kemarin Selasa (9/1).

Usaia pertemuan itu, Enggartiasto menyatakan, pemerintah akan menggelar operasi pasar beras melalui Bulog. "Operasi pasar akan masiv di lebih dari 1.983 titik untuk beras medium," katanya.

Jika melihat ke belakang, kenaikan harga beras mulai terasa pada Desember 2017 dan memuncak di awal Januari 2018. Kenaikan harga beras terjadi seiring berkurangnya stok beras medium di pasaran, dan minim pasokan baru.

Kondisi ini berbanding terbalik dengan klaim surplus dan data Kementerian Pertanian (Kemtan). Produksi gabah berdasarkan angka ramalan II-2017 sebesar 81,38 juta ton. Bila gabah ini dikonversi menjadi beras maka ada pasokan beras lebih dari 40 juta ton. Jumlah itu lebih besar dibandingkan kebutuhan konsumsi beras pada 2017 yang hanya 33 juta ton.

Dengan surplus 7 juta ton, seharusnya harga beras turun. Alih-alih turun, Kemtan dan Bulog justru saling tuding dan saling melempar tanggung jawab. Lihat saja, Dirjen Tanaman Pangan Kemtan Sumardjo Gatot Irianto mengklaim, saat ini sejumlah panen terjadi di sentra produksi padi di Tanah Air, seperti di Sulawesi dan Sumatera.

Dia menuding kenaikan harga beras terjadi akibat minimnya serapan Bulog. "Serapan Bulog belum optimal menjadi salah satu sebabnya," tudingnya.

Tahun lalu, total serapan beras Bulog hanya 2,1 juta ton atau 58% dari target. Padahal menurut Gatot, Bulog bisa menyerap secara komersial bila harga gabah kering panen (GKP) di atas Harga Pembelian Pemerintah (HPP). "Jadi tidak ada alasan Bulog belum bisa menyerap," tandasnya. Gatot juga menuding, Bulog tidak maksimal menggelar operasi pasar sehingga harga beras tinggi.

Sesuai ketentuan

Namun Direktur Utama Perum Bulog Djarot Kusumayakti, menyatakan, Bulog tidak bisa sembarangan menyerap beras yang tidak berkualitas. Bulog merupakan BUMN yang harus profit dan pada saat bersamaan juga menjalankan penugasan pemerintah. Menurutnya sejauh ini Bulog telah menyerap beras sesuai penugasan.

Inpres No 5/2015 memerintahkan Bulog membeli beras seharga Rp 7.300 per kg. Tapi, Bulog kesulitan menyerap ketika beras hasil panenan tidak sesuai dengan kriteria yang ditetapkan pemerintah. "Bulog disiplin melaksanakan perintah pemerintah. Bulog harus dapat beras medium dengan broken maksimal 20% kadar air 14% menir 2%, dengan harga Rp 7.300. Dengan fleksibilitas 10% atau Rp 8.030 itu pun tak bisa," jelas Djarot

Bulog dapat menyerap beras secara komersial, namun harus menguntungkan. "Saya tak mungkin membeli beras dengan harga tinggi lalu menjualnya di bawah itu," tandasnya. Djarot juga menandaskan, bila intervensi pasar tidak dapat mengubah harga, penyebab utama kenaikan harga adalah suplai minim.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×