kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45923,49   -7,86   -0.84%
  • EMAS1.319.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Industri pemintalan sedang kusut


Jumat, 21 Juli 2017 / 10:37 WIB
Industri pemintalan sedang kusut


Reporter: Eldo Christoffel Rafael | Editor: Hendra Gunawan

JAKARTA. Industri spinning atau pemintalan benang dalam negeri sulit berkembang. Penyebabnya antara lain, kurang kompetitifnya produk benang yang dihasilkan di dalam negeri dibandingkan produk benang industri pemintalan luar negeri, seperti China dan India.

Mahalnya biaya produksi menjadi masalah klasik yang terus terjadi dan belum mendapat solusi. Harga bahan bakar gas, serta tarif listrik untuk industri yang masih tinggi perlu segera dicarikan solusi.

Selain itu, maraknya rembesan produk benang dari kawasan berikat semakin memperparah pengusaha. Seperti diketahui, industri yang berdiri di kawasan berikat mendapat fasilitas fiskal. Beberapa di antaranya adalah pengecualian dalam pembayaran Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Tidak heran, akibat kondisi ini kapasitas produksi di industri pemintalan benang jauh dari batas maksimal. Mengutip data Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), utilisasi pabrik pada tahun lalu hanya mencapai 1,54 juta ton atau 70% dari kapasitas terpasang sebanyak 2,2 juta ton.

Bahkan, pada tahun ini kapasitas terpakai dari pabrik yang ada diperkirakan semakin menurun lagi. “Sampai akhir tahun diperkirakan utilisasi hanya 60% atau hanya bisa produksi sekitar 1,4 juta ton,” kata Sekretaris Jenderal APSyFI Redma Gita Wirawasta, saat dihubungi KONTAN, Kamis (20/7).

Redma tidak menampik, dengan kondisi tersebut beberapa perusahaan pemintalan benang anggota APSyFI terpaksa mengurangi produksi atau menutup usahanya. Namun sayang, Redma tidak dapat merinci lebih jauh lagi nama-nama perusahaan tersebut.

Yang pasti, menurut Redma kinerja industri spinning sedang turun. Bahkan banyak yang harus menelan kerugian lantaran menjual produksi mereka  di bawah harga ideal. “Mereka terpaksa jual rugi daripada numpuk di gudang. Padahal mereka juga harus membayar supplier, listrik dan upah buruh,” ungkap Redma.

Awasi Kawasan Berikat

Corporate Communication PT Asia Pacific Fibers Tbk Prama Yudha Amdan mengatakan, isu perusahaan spinning gulung tikar memang benar. Indikatornya, permintaan fiber sebagai bahan baku spinning menunjukkan  tren penurunan.

Asal tahu saja, emiten berkode saham POLY ini memproduksi fiber yang dijual ke pabrikan spinning di industri menengah untuk diolah untuk menjadi benang. "Alhasil ada tren permintaan fiber yang juga menurun," kata Prama.

Agar industri pemintalan benang dapat bertahan, APSyFI mengusulkan agar fungsi Kawasan Berikat dikembalikan seperti semula. Pengawasan terhadap industri-industri di kawasan berikat perlu harus diperketat agar sesuai dengan tujuannya, yakni penjualan 100% untuk ekspor.  Yang tidak kalah penting, tarif listrik dan harga gas yang sesuai dengan nilai keekonomisan perlu direalisasikan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×