kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ini upaya industri farmasi untuk menanggulangi kenaikan kurs dolar AS


Senin, 14 September 2020 / 05:00 WIB
Ini upaya industri farmasi untuk menanggulangi kenaikan kurs dolar AS


Reporter: Agung Hidayat | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kurs dolar Amerika Serikat (AS) yang terus menguat terhadap rupiah selama pandemi Covid-19 ini telah mempengaruhi ongkos produksi industri yang bahan bakunya kebanyakan impor, yakni industri farmasi. Sebagaimana yang diketahui hampir 90% raw material pabrik farmasi masih bertumpu pada pasokan luar negeri.

Vidjongtius, Presiden Direktur PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) mengatakan bahwa banyak cara yang dapat ditempuh produsen obat untuk mengantisipasi fluktuasi kurs tersebut. Mulai dari melakukan hedging secara rutin hingga pengelolaan supply chain atau persediaan bahan baku di pegudangan.

Selain itu industri farmasi dituntut untuk terus melakukan efisiensi di lini pabrikan agar dapar mengkompensasi kenaikan beban produksi. Adapun di Kalbe semua opsi dilakukan untuk meminimalisir kenaikan harga bahan baku.

"Kami juga selalu ada natural hedging melalui saldo kas dalam mata uang asing equivalen sekitar US$ 50 juta untuk netralisir dampak fluktuasi kurs," kata Vidjongtius kepada Kontan.co.id, Minggu (13/9). Secara berkala, KLBF mengaku membeli dolar AS di bank.

Nilainya disesuaikan dengan biaya impor bahan baku yang sudah dilakukan pada periode sebelumnya. Saat ini besaran yang sudah disiapkan dinilai masih cukup untuk menghadapi fluktuasi kurs yang terjadi sekarang, Vidjongtius optimis perusahaannya masih bisa menanggulangi depresiasi kali ini.

Baca Juga: Produk suplemen kesehatan menyumbang 15% total pendapatan Kalbe Farma (KLBF)

Sampai dengan semester pertama tahun biaya pembelian bahan baku dan kemasan tercatat senilai Rp 2,33 triliun atau turun 1,27% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya Rp 2,36 triliun. Dari sisi bottomline, perseroan masih mampu membubuhkan pertumbuhan laba bersih 10,4% secara tahunan menjadi Rp 1,38 triliun di enam bulan pertama tahun ini.

Sementara itu, produsen farmasi lain PT Indofarma Tbk (INAF) memilih pendekatan yang berbeda terkait fluktuasi kurs ini. Herry Triyatno, Direktur Keuangan INAF mengatakan pihaknya sejauh ini tidak menerapkan hedging.

"Sejauh ini rupiah dalam setahun fluktuatif turun naik. Secara fundamental diluar faktor pandemi, posisi Indonesia komparatif dibandingkan dengan negara lain masih lebih baik," urainya kepada Kontan.co.id, Minggu (13/9). Perusahaan meyakini nikai tukar dalam setahun terakhir masih dalam range yang baik.

Sehingga, kata Herry, secara bottom line tidak berpengaruh banyak terhadap profitability. Asal tahu saja di semester pertama tahun ini perusahaan mencatatkan rugi bersih sebanyak Rp 4,66 miliar, yang artinya mengalami penyusutan dibandingkan rugi bersih periode yang sama tahun lalu Rp 24,35 miliar.

Manajemen sempat bilang beberapa upaya mengurangi risiko fluktuasi mata uang asing ialah dengan merencanakan pembelian mata uang asing yang cukup untuk pembelian produk impor. Selain itu, Indofarma juga melakukan pemantauan mata uang asing yang intensif serta perencanaan waktu pembelian yang tepat. 

Mengulik laporan keuangan semester pertama tahun ini, biaya pembelian bahan baku perusahaan meningkat 13,7% secara tahunan menjadi Rp 49,54 miliar. Namun perusahaan masih dapat berefisiensi dengan penurunan beban penjualan sebanyak 18,04% secara tahunan menjadi Rp 60,12 miliar di paruh pertama tahun 2020.

Selanjutnya: Begini cara Phapros (PEHA) amankan bahan baku obat di tengah pelemahan kurs rupiah

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×