kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Tergesa-gesa uji publik, RPM Penyelenggaraan Telekomunikasi rawan judicial review


Jumat, 26 Maret 2021 / 22:57 WIB
Tergesa-gesa uji publik, RPM Penyelenggaraan Telekomunikasi rawan judicial review
ILUSTRASI. Pekerja melakukan perawatan menara (tower) telekomunikasi milik PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG) di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu, Jakarta, Rabu (18/9/2019). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/nz


Reporter: Ahmad Febrian | Editor: Ahmad Febrian

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Singkatnya waktu konsultasi publik terhadap Rancangan Peraturan Menteri (RPM) Penyelenggaraan Telekomunikasi menjadi sorotan banyak pihak.  Direktur Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi (LPPMI), Kamilov Sagala menyatakan, secara teknis membahas pasal per pasal suatu regulasi membutuhkan waktu yang cukup untuk melibatkan peran publik.

Stakeholder dari RPM Penyelenggaraan Telekomunikasi ini beragam, mengakomodasi kepentingan tersebut tidak cukup hanya tiga hari.  “Sebab jika konsultasi publik singkat, itu hanya basa-basi saja,”ujar Kamilov, dalam pernyataan tertulis, Jumat (26/3).

Menurut Kamilov aturan yang dibuat dengan tergesah-gesah juga membuka peluang bagi masyarakat untuk melakukan judicial review. Sehingga pembuatan regulasi yang tergesa-gesa berpotensi merugikan banyak pihak. Seperti uang dan waktu yang terbuang. 

Makanya, regulasi harus mengakomodasi seluruh pemangku kepentingan. Contoh melibatkan kementerian atau lembaga lain adalah ketika operator telekomunikasi hendak menggelar jaringan fiber optik di daerah. Selain itu RPM belum  mengakomodasi persaingan.

Memang di RPM tersebut tertulis harus mempertimbangkan persaingan usaha yang sehat. Namun  RPM tersebut tidak mencantumkan secara eksplisit UU 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. 

Kamilov mencontohkan  kebijakan terhadap konten over the top (OTT) asing. “Banyak konten OTT asing yang jauh dari budaya Indonesia tetap dapat beroperasi. Masyarakat dirugikan akibat konten tersebut," terang Kamilov.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×