kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45938,26   9,90   1.07%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

23 smelter nikel kolaps akibat relaksasi ekspor


Kamis, 20 Juli 2017 / 19:10 WIB
23 smelter nikel kolaps akibat relaksasi ekspor


Reporter: Febrina Ratna Iskana | Editor: Rizki Caturini

JAKARTA. Pemerintah telah menerbitkan sejumlah aturan agar relaksasi ekspor mineral mentah bisa terlaksana. Sebanyak tiga aturan telah diterbitkan pemerintah sejak Januari 2017 lalu seperti Peraturan Menteri ESDM No.5/2017 dan Permen ESDM No.6/2017 untuk melegalkan relaksasi ekspor mineral mentah.

Sejak terbitnya aturan tersebut, industri hilirisasi semakin terpuruk karena harga nikel yang rendah. Jonatan Handojo, Wakil Ketua Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) bahkan menyebut, dari 25 smelter nikel yang ada hanya dua smelter yang masih beroperasi yaitu milik PT Antam Tbk dan PT Vale Indonesia Tbk.

Sementara itu sebanyak 23 smelter sudah dalam keadaan mati total dan tinggal menunggu mati. Pasalnya dari 23 smelter, sebanyak tiga smelter terpaksa dihidupkan hanya untuk kepentingan kontraktor proyek.

"Ada yang mulai start hidupkan smelternya supaya kontraktor yang pasang smelter buktikan itu sudah selesai, harus dibuktikan ini sudah jalan. Tapi itu pun sementara untuk membuktikan smelternya sudah selesai, habis itu kontraktornya pulang," jelas Jonatan, Kamis (20/7).

Sisanya sebanyak 20 smelter dipastikan sudah mati total yang terdiri dari enam smelter yang pernah beroperasi dan 14 smelter yang sudah selesai dibangun namun tidak pernah dihidupkan sama sekali.

"Sebanyak enam smelter itu sudah pernah keluar pig iron-nya. Sisanya 14 tidak bisa dipaksakan, harganya lagi jelek," tuturnya.

Di luar 25 smelter nikel tersebut, masih terdapat tiga hingga empat smelter nikel lainnya yang terancam gagal selesai dibangun. Pasalnya harga nikel saat ini masih terlalu rendah bagi pengusaha smelter.

Saat ini harga nikel berkisar US$ 9.000 per ton. Padahal sejatinya break even point bagi pengusaha smelter berada di kisaran US$ 11.000 per ton.

"Kami berani masuk smelter, waktu buat proposal dan membuat feasibility study harga dunia US$ 12.000 per ton, siapa yang enggak tertarik? kan suatu hal yang sudah pasti untung. Tapi ternyata harga turun terus," keluh Jonatan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×