Reporter: Filemon Agung | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) meminta perbaikan tata niaga nikel dilakukan secara serius oleh pemerintah menyusul kisruh perbedaan perhitungan kadar nikel.
Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin Lengkey mengungkapkan, perbedaan perhitungan terjadi dalam Certificate of Analysis (COA) muat dan COA Bongkar.
"Sedangkan patokan pembayaran selalu cost, insurance & freight (CIF) yaitu setelah hasil analisa pelabuhan bongkar (di smelter)," ujar Meidy kepada Kontan.co.id, Kamis (23/9).
Jika merujuk kontrak CIF, apabila kadar bijih nikel turun maka akan dikenakan penalti berupa pemotongan harga. Meidy mengungkapkan, dengan kondisi ini maka penambang selalu dirugikan.
Menurut dia, ketika di pelabuhan muat, pelaku usaha sudah melunasi PNBP royalti dan PPH sebelum kapal diberangkatkan. Selain itu, kadar pun sudah sesuai dengan perhitungan COA muat.
Baca Juga: Ekspor nikel olahan kadar 40% akan dilarang, bagaimana prospek saham nikel?
APNI mengharapkan transaksi bijih nikel harus sesuai dengan regulasi yang ada yakni Peraturan Menteri ESDM No 11 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penetapan Harga Patokan Penjualan Mineral Logam dan Batubara.
"Transaksi Free on Board (FOB) sehingga patokan COA yang dipakai hanya 1 (yaitu) COA muat," kata Meidy.
Meidy menjelaskan lebih jauh, sejumlah harapan ke depan yakni pembayaran PNBP dan transaksi mengacu pada hasil verifikasi di terminal muat oleh surveyor yang disepakati bersama oleh penambang dan smelter.
Dengan pelaksanaan kebijakan tersebut maka transaksi dinilai lebih efisien pasalnya verifikasi hanya dilakukan sekali saja. Ini juga berpotensi mengurangi waktu bongkar muat di pelabuhan.
APNI pun menilai, dengan terobosan tersebut maka cashflow penambang menjadi cepat serta ketergantungan terhadap trader juga dapat berkurang. Selain itu, ini juga demi meminimalisir kasus reject komoditas yang disebut merugikan penambang.
Meidy menambahkan, perlu intervensi pemerintah dalam mengubah proses business to business yang terjadi saat ini.
"(Juga) diberikan batas maksimum kuota analisa merata ke seluruh surveyor," jelas Meidy. Dia memastikan, pihaknya secara intens telah melaporkan hal ini ke Kementerian Perdagangan.
Baca Juga: Larangan ekspor nikel olahan 30%-40% bisa hambat investasi smelter
Sebelumnya, keluhan soal kisruh perbedaan hitung surveyor ini diungkapkan Anggota Komisi VI DPR RI Andre Rosiade.
"Informasi yang saya dapatkan dari teman-teman pengusaha nikel di kita, lokal, nasional, bahwa sekarang orang-orang (penambang) yang memberikan laporan ke Kemendag itu terancam tidak diberikan kesempatan oleh smelter-smelter Tiongkok," kata Andre dalam Rapat Kerja bersama Menteri Perdagangan, Selasa (21/9).
Andre mengungkapkan, para pelaku usaha yang memberikan data atau melapor terkait kisruh ini terancam tidak dapat lagi menjual nikelnya ke smelter-smelter yang ada.
"Mereka terancam tidak lagi bisa menjual nikel-nikel nasional kita karena terus terang ekspor ditutup, satu-satunya yang bisa makan nikel itu kan mereka (smelter) sekarang," lanjut Andre.
Dalam menanggapi situasi ini, Andre pun meminta Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk turun tangan mengatasi persoalan yang terjadi.
Selanjutnya: Pemerintah berencana melarang ekspor olahan nikel 30%-40%, ini tanggapan pengusaha
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News