kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45901,31   3,71   0.41%
  • EMAS1.378.000 0,95%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ada Oversupply Gas, tapi Volume Penyaluran HGBT di Jatim Belum Optimal


Kamis, 11 Januari 2024 / 21:23 WIB
Ada Oversupply Gas, tapi Volume Penyaluran HGBT di Jatim Belum Optimal
ILUSTRASI. Implementasi kebijakan harga gas bumi tertentu (HGBT) masih belum optimal.


Reporter: Muhammad Julian | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Implementasi kebijakan harga gas bumi tertentu (HGBT) masih belum optimal. Ketua Umum Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB), Yustinus Gunawan, mengungkapkan bahwa realisasi penyaluran alokasi gas industri tertentu untuk pengguna HGBT di Jawa Timur kerap kurang dari jumlah alokasi yang ditetapkan.

Padahal, alokasi volumenya sudah diatur dalam Keputusan Menteri (Kepmen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 91.K/MG.01/MEM.M/2023 tentang Pengguna Gas Bumi Tertentu dan Harga Gas Bumi Tertentu.

“Agak aneh bahwa volume dalam Kepmen enggak bisa dipenuhi, karena penentuan alokasi volume Kepmen dari setiap hulu gas pastilah sudah memperhitungkan karakter dan kemampuan masing-masing sumur gas, termasuk pengurangan karena perawatan berkala dan penuaan setiap sumur,” kata Yustinus kepada Kontan.co.id, Kamis (11/1).

Seperti diketahui, kebijakan HGBT merupakan bentuk kebijakan pemerintah untuk mendukung industri. Lewat kebijakan ini, pemerintah menetapkan harga gas bumi yang lebih kompetitif bagi industri pengguna.

Baca Juga: Penerapan HGBT Tak Maksimal Bikin Daya Saing Industri Dalam Negeri Menurun

Berdasarkan kepmen terbaru, yakni Kepmen ESDM Nomor 91.K/MG.01/MEM.M/2023, HGBT di plant gate alias titik serah ditetapkan beragam bagi industri pengguna, yakni berkisar US$ 5,90 - US$ 8,05 per metric million british thermal unit (mmbtu),

Gas yang disalurkan berasal dari berbagai Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS)/wilayah kerja (WK) migas dengan biaya transportasi yang beragam. Penyalur ada PGN, PT Pertagas Niaga, dan lain-lain.

Penyaluran gas dengan skema HGBT yang tidak sesuai penjatahan alokasi, menurut Yustinus, merugikan bagi industri pengguna. Sebab, mereka terpaksa memenuhi kebutuhan gasnya dengan skema penyaluran di luar skema HGBT. 

Singkatnya, industri pengguna HGBT mau tidak mau merogoh kocek ekstra untuk membeli gas dengan harga komersial atau di atas HGBT. Walhasil biaya produksi meningkat sementara daya saing produk menjadi turun.

FIPGB bukannya diam saja melihat persoalan ini. Yustinus bilang, pihaknya telah berupaya meminta penjelasan kepada pihak penyalur. Hanya, ikhtiar tersebut tidak membuahkan hasil.

“FIPGB pernah meminta penjelasan dari penyalur, terutama PGN. Jawabannya adalah tergantung dari hulu. FIPGB tidak pernah menanyakan ke perusahaan hulu/produsen gas, karena ini adalah ranah (Kementerian) ESDM,” tutur Yustinus.

Di lain pihak, pasokan penyaluran gas di luar skema HGBT, menurut catatan FIPGB, relatif tidak mengalami masalah. Satu-satunya kendala hanya ada pada harga.

“Harga komersial (gas di luar skema HGBT) sangat fluktuatif, cenderung gila-gilaan,” katanya.

Volume penyaluran gas HGBT yang kurang dari alokasi di Jatim, terjadi di tengah adanya kondisi over supply gas di Jawa Timur. Menukil pemberitaan Kompas.com (27/11/2023), SKK Migas Jawa-Bali-Nusa Tenggara (Jabanusa) bahkan sempat berupaya untuk menyalurkan kelebihan pasokan gas di Jawa Timur ke Jawa Barat yang kekurangan pasokan gas.

Sebab, gas di Jatim potensi liftingnya mencapai 747 mmscfd, namun yang terserap baru 560 mmscfd. Artinya, lifting gas belum 100% diserap. 

Baca Juga: PGN (PGAS) Targetkan Volume Penjualan Gas Tumbuh 4% pada Tahun Ini

Hanya saja, upaya penyaluran oversupply gas di Jawa Timur ke Jawa Barat terkendala oleh infrastruktur pipa yang belum tersambung. Sementara, pipa ini diperlukan untuk menyalurkan gas dari Jawa Timur ke Jawa Barat.

Implementasi kebijakan HGBT yang belum optimal sesungguhnya bukan persoalan skala Jawa Timur semata. Sebelumnya, persoalan implementasi HGBT yang belum optimal juga sempat disinggung oleh Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita. 

Dalam siaran persnya (2/1), ia menyebutkan bahwa penerapan HGBT masih belum optimal. Sebab, masih banyak perusahaan industri yang belum menerima manfaat harga gas US$ 6 per mmbtu.

“Pada tahun 2023, hanya 76,95% di Jawa Bagian Barat atau hanya sekitar 939,4 BBTUD dibayar dengan harga US$ 6,5 per MMBTU, sisanya harus dibayar dengan harga normal sebesar US$ 9,12 per MMBTU,” sebutnya.

Lebih lanjut, sejalan dengan informasi yang disampaikan oleh FIPGB, Agus juga menyinggung soal masih banyaknya sektor industri yang memperoleh volume gas lebih rendah atau tidak sesuai dengan jumlah yang sudah menjadi kontrak antara industri dan pihak penyedia. 

"Kebijakan HGBT memang dalam pelaksanaannya tidak sesuai dengan yang kami inginkan, jauh dari ideal di mata kami. Oleh karenanya, carut marut terkait HGBT ini tentu mengurangi daya saing industri kita,” papar Agus.

Kontan.co.id telah berupaya menghubungi pihak Kementerian ESDM untuk mempertanyakan kendala berikut tindak lanjut ke depan atas persoalan implementasi kebijakan HGBT. Hanya, hingga tulisan ini dibuat, pihak Kementerian ESDM masih belum merespon permohonan Kontan.co.id.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×