kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Ada Usulan dari Pengusaha, Pemerintah Kaji Usulan Penyesuaian Tarif Royalti Batubara


Selasa, 03 September 2024 / 19:40 WIB
Ada Usulan dari Pengusaha, Pemerintah Kaji Usulan Penyesuaian Tarif Royalti Batubara
ILUSTRASI. Foto udara alat berat memuat batubara di tempat penampungan tepi Sungai Batanghari, Muaro Jambi, Jambi, Kamis (20/6/2024). ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/foc.


Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Putri Werdiningsih

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah tengah mengkaji usulan penyesuian tarif royalti atau iuran produksi batubara bagi pemegang IUPK kelanjutan kontrak. 

Sekretaris Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Ditjen Minerba Kementerian ESDM, Siti Sumilah Rita Susilawati mengatakan, saat ini masih dilakukan kajian dan pembahasan bersama antara pemerintah untuk membahas usulan penyesuaian tarif royalti/iuran produksi bagi pemegang IUPK kelanjutan kontrak.Pembahasan ini dilakukan bersama Kemenko Marves, Kemenkeu dan Kementerian ESDM.

Melalui asosiasi pertambangan, pengusaha telah menyampaikan usulan penyesuaian besaran tarif royalti/iuran produksi yang harus dibayar berdasarkan rentang HBA yang ditentukan oleh Pasal 16 PP NO 15/2022 dan dihitung sesuai kalori batubara yang dijual berdasarkan Kepmen 227/2023.

"Usulan tersebut harus dikaji agar tidak bertentangan dengan amanat Pasal 169A UU No. 3/2020 yang menyatakan bahwa penerimaan negara dari IUPK perpanjangan kontrak tidak boleh turun jika dibandingkan dengan masa PKP2B," kata Rita kepada Kontan, Selasa (3/9).

Baca Juga: Pelaku Usaha Buka Peluang Ikuti Lelang Blok Tambang

Plt Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Gita Mahyarani menuturkan royalti yang sekarang dibayar oleh IUPK cukup berat dan jauh dengan kondisi pasar yang sama. Jika pungutannya terlalu besar maka akan pengaruh ke biaya operasional tambang/mine cost karena semakin lama umur tambangnya maka akan semakin besar stripping ratio (S/R).

"Hal ini pun akan berpengaruh terhadap ketahanan cadangan batubara. Dengan pungutan yang cukup besar, penambang harus lebih efisien. Sehingga pengembangan untuk mencari cadangan baru akan terhambat," ujar Gita kepada Kontan, Selasa (3/9).

Menurut Gita, iuran yang dibebankan ke pengusaha batubara cukup banyak. "Pajak-pajak masih banyak: PBB, PPh, Pph juga macam-macam," sambungnya.

Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA), Hendra Sinadia mengatakan di tengah tren harga komoditas batubara yang menurun dan beban biaya operasional yang semakin meningkat, tarif royalti yang berlalu saat ini baik bagi pemegang IUP dan IUPK-KOP serta PKP2B menjadi sangat menantang.

"Hal ini yang dapat menjadi kendala bagi pelaku usaha dalam berinvestasi di era transisi energi," ungkapnya kepada Kontan, Selasa (3/9).

Hendra menjelaskan, penambang jadi kesulitan dalam mengelola arus kas dengan beban biaya operasional dan tarif royalti tinggi apalagi ada kewajiban penempatan 30% DHE di bank dalam negeri minimal selama 3 bulan. Tarif royalti yang berlaku bagi pemegang IUPK Kelanjutan Operasi Produksi sangat tinggi apalagi jika dibandingkan dgn pemegang IUP sedangkan pasarnya sama. 

"Di sisi lain pemegang IUPK-KOP tersebut merupakan pemasok besar dan reliable untuk pasokan ke dalam negeri serta selama ini mematuhi kewajiban DMO," tutur Hendra.

Menurut Hendra, hendaknya pemerintah lebih fokus memastikan ketahanan energi nasional untuk jangka panjang. Tingginya Tarif royalti yang didorong kebutuhan penerimaan negara akan berpengaruh terhadap cadangan batubara nasional untuk jangka panjang.

"Biaya operasional setiap tahun pasti meningkat. Salah satu komponen biaya yang besar adalah biaya bahan bakar," tandasnya.

Baca Juga: Harga Komoditas Diprediksi akan Konsolidasi Sepanjang Tahun 2024

Head of Corporate Communication PT Adaro Energy Indonesia (ADRO), Febriati Nadira bilang pada dasarnya perusahaan menyambut baik apabila ada penyesuaian royalti dengan mempertimbangkan ketahanan energi, yang mana hal ini berkaitan erat dengan cadangan batu bara nasional.

"Kami juga berharap agar regulasi di industri batu bara dapat membuat perusahaan-perusahaan nasional seperti Adaro tetap bisa eksis dan terus memberikan kontribusi kepada negara dalam bentuk royalti, pajak, tenaga kerja, CSR dan lain-lain," jelasnya kepada Kontan, Selasa (3/9).

Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep) Bisman Bakhtiar mengungkapkan wajar jika kalangan yang mengusulkan untuk penyesuaian tarif royalti batubara, mengingat akhir-akhir ini harga komoditas tersebut kurang bagus.

"Namun tarif royalti batubara yang terakhir diatur dalam PP 26 Tahun 2022 tsb masih sangat relevan. Tarif tersebut mempertimbangkan tingkat kalori dan harga batubara acuan yang flutuatif dan proporsional. Jadi belum perlu ada penyesuaian atau penurunan, tarif tsb masih oke dan wajar," terangnya kepada Kontan, Selasa (3/9).

Catatan Kontan, Kementerian Keuangan melaporkan realisasi PNBP per Juli 2024 dari sektor SDA nonmigas mengalami penurunan 21,8% secara tahunan, di mana penerimaan tercatat Rp 68,4 triliun. Pada periode yang sama tahun lalu, jenis penerimaan ini Rp 87,4 triliun. Kementerian ESDM juga melaporkan PNBP mineral dan batu bara (minerba) memberikan kontribusi terbesar pagi PNBP sektor ESDM pada 2023.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×