kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45906,29   2,96   0.33%
  • EMAS1.310.000 -0,23%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Anak usaha Duniatex gagal bayar utang, industri tekstil memang sedang lesu


Selasa, 23 Juli 2019 / 22:16 WIB
Anak usaha Duniatex gagal bayar utang, industri tekstil memang sedang lesu


Reporter: Kenia Intan | Editor: Azis Husaini

KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Duniatex Group terlilit masalah likuiditas akibat anak usahanya, PT Delta Dunia Sandang Tekstile (DMDT), gagal membayar bunga dan pokok sindikasi senilai US$ 11 juta pada 10 Juli 2019.

Menanggapi kejadian ini, Ketua Asosiasi Perstekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat Usman menjelaskan bahwa apa yang terjadi pada DMDT tidak dapat dijadikan sebagai gambaran kondisi industri pertekstilan saat ini.

"Kami meghimbau agar seluruh stakeholder dalam sektor ini cermat dalam menilai kasus ini sebagai suatu yang menggambarkan karakter individu dan bukan potret industri prioritas pemerintah saat ini," kata Ade pada Kontan.co.id, Selasa (23/7).

Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan hal yang serupa. Apa yang terjadi pada DMDT memang tidak bisa menjadi satu-satunya patokan untuk menggambarkan kondisi TPT. Meski begitu, Redma mengaku tidak terkejut dengan kejadian yang menimpa DMDT..

"Dengan kondisi di dunia tekstil saat ini, kalau buat kita sih wajar saja," kata Redma ketika dihubungi Kontan.co.id, Selasa (23/7).

Kondisi TPT memang  menjadi faktor pendorong, namun bukan faktor satu-satunya. Ia bilang, pasti ada masalah-masalah lain yang akhirnya memaksa DMDT gagal membayar utang.

Lebih lanjut Redma, menjelaskan pasar ekspor TPT memang sedang berat karena adanya perang dagang antara Amerika dan China. Amerika yang menerapkan pelarangan barang-barang asal China, mengakibatkan produk TPT China diekspor ke negara-negara lain.

Sementara itu, untuk mencegah impor TPT dari China, negara-negara lain ikut membatasi produk impor TPT di negara masing-masing. Kondisi ini membuat pasar ekpor TPT Indonesia semakin tertakan. Di sisi lain, TPT juga tidak bisa terserap di dalam negeri karena sudah dipenuhi produk-produk impor.

"Jadi ekspor susah, dijual di dalam  negeri juga susah. Stoknya menumpuk dan tidak ada cashflow, maka hal itu mungkin  terjadi," jelasnya lagi. Redma menambahkan, ini menajdi kasus pertama yang pernah terjadi di industri TPT.

Redma menyayangkan pemerintah yang menerapkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 64 tahun 2017  yang  memberikan akses impor tanpa kontrol kepada pemegang API-U atau pedagang melalui Pusat Logistik Berikat (PLB). Ini mengakibatkan pasar TPT dalam negerti kebanjuran produk impor.

Terkait ekspor dan perang dagang, Ade berbeda pandangan dengan Redma. Ade bilang, kondisi tekstil nasional saat ini dalam keadaan baik, nilai ekspor ditargetkan tumbuh ke angka US$ 14,6 miliar hingga akhir tahun 2019.

Ia juga beranggapan  adanya perang dagang antara AS dan China justru menciptakan peluang yang bisa dimanfaatkan. Apalagi dengan bantuan percepatan bilateral agreement, prosek nilai ekpor pun terus meningkat dengan adanya perdagangan bilateral IA -CEPA dan EU-CEPA yang saat ini sedang dalam tahap finalisasi.

Walaupun menilai kondisi tekstil nasional saat ini dalam keadaan baik, Ade tidak bisa memungkiri, iklim usaha saat ini memang belum sempurna. Menurutnya masih banyak yang bisa dioptimalkan khususnya, sektor impor untuk konsumsi domestik yang masih berlebih. Padahal,  barang yang diimpor tersebut sudah diproduksi di dalam negeri.  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×