kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Apa saja efek positif UU Cipta Kerja ke sektor industri pariwisata?


Minggu, 22 November 2020 / 13:30 WIB
Apa saja efek positif UU Cipta Kerja ke sektor industri pariwisata?
ILUSTRASI. Pengunjung berada di kawasan Malioboro, DI Yogyakarta, Senin (16/11/2020).


Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengamat industri pariwisata Muslim Jayadi mengatakan, ada sejumlah manfaat Undang-Undang (UU) No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja terhadap industri sektor pariwisata.

Salah satu dampak positifnya adalah terkait kemudahan perizinan melalui sistem online dan digital bagi pelaku usaha di sektor pariwisata.

“Sudah pasti ada yang ke sektor pariwisata dari sekian investor, yang sudah siap menanamkan modal di Indonesia setelah disahkannya UU Cipta Kerja,” kata Jayadi dalam keterangannya saat  diskusi daring bertajuk Outlook Industri Pariwisata dalam UU Cipta Kerja pada Kamis (19/11) lalu.

Dalam diskusi daring yang digelar oleh Goodmoney.id, konsultan dan trainer sejumlah perusahaan swasta dan BUMN ini menyampaikan, UU Cipta Kerja juga memberikan dampak positif pada pelaku UMKM di sektor wisata.

“Setiap pengusaha pariwisata diwajibkan mengembangkan kemitraan dengan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dan koperasi setempat yang saling memerlukan, memperkuat dan menguntungkan,” kata Jayadi mengutip Pasal 26 ayat (1) poin (f) UU Cipta Kerja.

Baca Juga: Kemenparekraf bakal minta kepada desa di Indonesia bikin Desa Wisata

Poin (f) itu dipertegas oleh poin (g). Dalam poin (g) itu, kata Jayadi, selain UMKM dan Koperasi, UU Cipta Kerja pada sektor pariwisata juga berdampak positif pada para pekerja lokal.

“Setiap pengusaha pariwisata diwajibkan mengutamakan produk masyarakat setempat, produk dalam negeri, dan memberikan dan memberikan kesempatan kepada tenaga kerja lokal,” tambah Jayadi mengutip Pasal 26 ayat (1) poin (g) UU Cipta Kerja.

Terkait ketenagakerjaan, lanjut Jayadi, pengusaha pariwisata berdasarkan Pasal 26 ayat (1) poin (h) juga diwajibkan “Meningkatkan kompetensi tenaga kerja melalui pelatihan dan pendidikan”.

Menyikapi pro-kontra soal UU Cipta Kerja, Jayadi menegaskan bahwa UU Cipta Kerja urgen dihadirkan pada masa sekarang di tengah perekonomian Indonesia terdampak Covid-19, demi meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

“Sekarang  (masa pandemi) inilah saat yang tepat disahkannya UU Cipta Kerja. Karena untuk menaikan pertumbuhan ekonomi perlu pertumbuhan investasi. Dalam UU Cipta Kerja perizinanan investasi dimudahkan supaya investasi meningkat” kata Jayadi.

Dengan adanya investasi, lapangan kerja baru tercipta dan bisa meningktan daya beli masyakat yang secara tidak langsung akan juga berpengaruh baik pada sektor pariwisata.

Terkait dampak Covid-19 pada sektor pariwisata, Jayadi membeberkan bahwa jumlah wisatawan mancanegara yang berwisata ke Indonesia menurun secara drastis sampai 80% yang berdampak besar pada sektor pariwisata dan perhotelan.

“Puncaknya bulan April 2020, hanya 158 ribuan wisatawan. Jika dibandingkan April 2019 yang jumlahnya 1,3 jutaan, itu jauh sekali bandingannya. Hingga September 2020 year on year, penurunnya sampai 80% jika dibanding tahun sebelumnya, ” beber Jayadi mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS).

Imbasnya, tambah Jayadi, banyak karyawan hotel yang di-PHK dan dirumahkan. Kata Jayadi, terdapat beberapa karyawan hotel ketika dirumahkan, statusnya tidak pasti. Mereka tidak di-PHK tapi tidak mendapatkan gaji dan dibolehkan mencari pekerjaan di tempat lain.

“Itu namanya mengusir (mem-PHK) dengan halus. Para karyawan itu akhirnya cari kerja di tempat lain dan dapat pekerjaan, tapi tidak mendapatkan pesangon (dari perusahaan sebelumnya). UU yang baru (UU Cipta Kerja) ada jaminan kehilangan pekerjaan,” ungkap Jayadi.

Untuk membuat sektor pariwisata tetap hidup, Jayadi menyarankan pemerintah memberlakukan hal yang sama kepada tempat-tempat wisata seperti Kemenaker memberlakukan pada perusahaan-perusahaan. Yakni, mereka diminta memberikan model protokol kesehatannya masing-masing.

“Kementerian harusnya meminta model protokol kesehatan di tempat-tempat pariwisata. Kenapa ini penting, karena pengunjung akan merasa aman dan nyaman kalau protokolnya ketat. Sekarang, yang ketatlah yang dicari” ujar Jayadi.

Baca Juga: Kemenparekraf gelar ajang bangga buatan Indonesia

Itu mengapa Jayadi juga menyarankan kepada pelaku usaha di sektor perhotelan atau pariwisata, jika ingin mengundang daya tarik wisatawan dalam kondisi pandemi, harus menerapkan protokol kesehatan dengan ketat. Karena menurutnya, yang dipilih oleh konsumen adalah tempat yang protokol kesehatannya ketat.

Lebih jauh Jayadi menyarankan, antara kepentingan bisnis dan kepentingan kesehatan harus seimbang. Karena jika tidak, maka akan berdampak juga pada bisnis jika seandainya ada kasus covid-19 terjadi di tempat pariwisata atau hotel, yang akan ditutup sekurangnya selama dua minggu.

Selain harus menerapkan protokol kesehatan Covid-19, tempat Pariwisata, kata Jayadi harus bersertifikasi Cleanliness, Health, Safety and Environment (CHSE). Jayadi menginformasikan, bahwa mengurus sertifikasi CHSE saat ini oleh Kementerian Pariwisata tidak dipungut biaya.

“CHSE harus disosialisasikan dan dikomunikasikan kepada para calon pelanggan. Jangan hanya diskon dan promo saja. Orang itu tidak akan berani datang meskipun didiskon kalau CHSE-nya tidak jelas,” tegas Jayadi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×