Reporter: Shintia Rahma Islamiati | Editor: Putri Werdiningsih
KONTAN.CO.ID - JAKARATA. Asosiasi Produsen Wadah Makan Indonesia (APMAKI) dan Asosiasi Produsen Alat Dapur dan Makan (ASPRADAM) mengungkapkan temuan serius terkait kualitas food tray impor yang digunakan dalam Program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Ali Chandrawan, Sekjen APMAKI mengungkapkan, sejumlah produk yang diimpor dan diklaim berbahan stainless steel SUS 304 ternyata setelah dilakukan pengujian hanya menggunakan SUS 201 yang lebih rendah kualitasnya.
“Food tray dari SUS 201 sangat reaktif terhadap asam dan berpotensi menyebabkan migrasi logam berat ke makanan. Ini sangat berbahaya, apalagi makanan bisa disimpan di wadah tersebut selama 4 jam,” ujar Ali dalam acara konferensi pers di Jakarta Selatan, Kamis (31/7).
Baca Juga: Mendag: Impor Food Tray untuk Program MBG karena Kebutuhan Sangat Besar
Ia menjelaskan, pengujian sederhana dengan cairan asam menunjukkan bahwa bahan SUS 201 mengalami reaksi hitam hanya dalam hitungan detik.
“Reaksi ini menunjukkan tingginya kadar mangan yang berisiko bagi kesehatan anak, terutama jika dikonsumsi jangka panjang,” tambahnya.
Ali menyebut, pihaknya juga menemukan praktik penyelundupan food tray tanpa kejelasan asal dan tanpa pemenuhan Standar Nasional Indonesia (SNI).
Padahal, sesuai regulasi, seluruh peralatan makan seharusnya mengikuti standar tersebut demi keselamatan penerima manfaat program.
Baca Juga: Badan Gizi Nasional Bantah Impor Food Tray untuk Program Makan Bergizi Gratis
Sandi, pengurus anggota asosiasi juga menekankan bahwa industri lokal telah siap secara kapasitas dan teknologi. Ia menyayangkan jika produk yang tidak sesuai standar justru masuk dan digunakan secara luas.
“Saat ini baru 12% dari kapasitas produksi nasional yang terserap. Artinya kami sangat siap memenuhi kebutuhan tanpa perlu impor,” ujarnya.
Asosiasi mendesak pemerintah segera memperketat pengawasan kualitas impor dan mewajibkan penerapan SNI.
Mereka juga berharap pemerintah memberi kemudahan bagi industri dalam negeri, khususnya akses bahan baku tanpa harus melalui proses perizinan impor yang kompleks.
“Jika barang jadi bebas masuk, sementara bahan baku lokal mahal dan aksesnya sulit, maka industri lokal akan mati pelan-pelan,” pungkas Ali.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News