kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Aturan PLTS Atap dikritik, PLN sebut beleid sudah oke


Selasa, 27 November 2018 / 21:05 WIB
Aturan PLTS Atap dikritik, PLN sebut beleid sudah oke
ILUSTRASI. PLTS Rooftop Pertama dari Terregra


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Sanny Cicilia

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian ESDM telah menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) Nomor 49 tahun 2018 tentang penggunaan sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap oleh konsumen Perusahaan Listrik Negara (PLN). Perusahaan setrum plat merah itu pun menanggapi positif keluarnya beleid tersebut.

Menurut Direktur Utama PLN Sofyan Basir, peraturan tersebut sudah pas mengatur soal kapasitas dan perlindungan sistem kelistrikan, maupun tarif ekspor atau jumlah energi listrik yang disalurkan dari sistem instalasi Pelanggan PLTS Atap ke sistem jaringan PLN.

Adapun, dalam Pasal 5 Permen itu disebutkan bahwa kapasitas sistem PLTS Atap dibatasi paling tinggi 100% dari daya tersambung konsumen PLN, dan dalam Pasal 8 disebutkan, konsumen PLN yang melakukan pembangunan dan pemasangan sistem PLTS Atap dengan daya terpasang lebih tinggi dari 200 kVA wajib memiliki izin operasi.

Beleid ini juga mengatur bahwa Sistem PLTS Atap hanya dapat dibangun dan dipasang oleh konsumen PLN setelah mendapatkan persetujuan dari PLN, dimana perusahaan listrik BUMN itu akan melakukan evaluasi dan verifikasi untuk pemberian persetujuan paling lama 15 hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap. Sedangkan, energi listrik pelanggan PLTS Atap yang diekspor dihitung berdasarkan nilai kWh Ekspor yang tercatat pada meter kWh ekspor-impor dikali 65%.

“Sudah baik menurut saya, keputusan menteri sudah oke. Apalagi sistem kan nggak bisa serta-merta, jangan sampai saat mereka masuk, malah menyebabkan gangguan di sistem itu sendiri, harus adil untuk kepentingan yang lain,” kata Sofyan saat ditemui di acara Kompas 100 CEO Forum, Selasa (27/11).

Begitu pun soal tarif ekspor, yang menurut Sofyan sudah cukup ideal. Ia mengklaim, perhitungan harga yang ditetapkan dalam permen tersebut lebih tinggi dibanding negara lain seperti Malaysia dan Singapura. Sebab, jika membandingkan dengan negara lain, Sofyan bilang bahwa tarif listrik yang diekspor dari PLTS atap hanya dihargai separuh, bahkan sepertiga dari tarif listrik yang berlaku.

“Kita sudah bagus sekali, jangan hanya lihat inginnya kita. Tapi lihat industrinya, dalam arti menyeluruh secara internasional,” lanjut Sofyan.

Soal harga ini memang menjadi sorotan sejumlah kalangan. Salah satunya datang dari Ketua Perkumpulan Pengguna Listrik Surya Atap (PPLSA) Yohanes Bambang Sumaryo, yang bahkan menilai secara umum Permen ini tidak mendorong pemanfaatan panel surya atap.

Menurutnya, dengan tarif ekspor 65%, itu artinya listrik yang dihasilkan dari PLTS hanya dihargai sebesar 0,65 saja. Sedangkan dengan skema 100% atau 1:1, dibutuhkan waktu sekitar delapan tahun untuk bisa mengembalikan modal (payback) dalam pemasangan PLTS atap.

Dengan skema tarif 65% ini, maka payback-nya bisa lebih lama, yakni menjadi 12 tahun. Adapun, biaya investasi pemasangan panel surya atap saat ini memang masih belum terjangkau, yakni senilai Rp. 14-15 juta per kilowatt peak (kWp).

“Isinya lebih buruk dari regulasi existing untuk pelanggan rumahan, namun bagus buat pemakai bisnis yang sekarang diizinkan,” kata Yohannes.

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menjelaskan bahwa menurut riset pasar yang telah dilakukannya, ada paling tidak 4-4,5 juta rumah tangga di Pulau Jawa yang akan memasang PLTS Atap. Syaratnya, pertama, ada potensi penghematan listrik lebih besar dari 30%, dan kedua, biaya investasinya harus kembali di bawah tujuh tahun.

Dalam perhitungannya, tambahan pengguna 4-4,5 rumah tangga itu setara dengan 15-17 gigaWatt peak. Hal ini, lanjut Fabby, akan bisa membantu pemerintah untuk mencapai target bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) sebesar 23% pada tahun 2025.

Sebab, di dalam target bauran 23% itu, ada target listrik dari PLTS, baik yang dibangun di atas tanah maupun atap, sebesar 6,5 GigaWatt. Artinya, dengan adanya potensi penambahan 15-17 gigaWatt, itu bisa melebihi hampir tiga kali dari target.

Namun, potensi itu bisa hilang, karena menurut Fabby, Permen yang ada saat ini dibuat lebih fokus untuk melindungi PLN. Padahal, imbuhnya, PLN tidak seharusnya khawatir karena pengembangan PLTS Atap tidak akan merugikan perusahaan listrik plat merah ini.

“Sekarang itu total listrik surya sekiatr 80 megaWatt (MW), kalau dihitung listrik atap paling hanya sekitar 30 MW, seluruh Indonesia. Masih kecil, tidak signifikan,” jelasnya.

Adapun, menurut data yang didapatkan Kontan.co.id, jumlah pengguna PLTS atap yang terdaftar oleh PLN saat ini adalah 553 pelanggan dengan kWh ekspor sebesar 164.787. Jumlah itu baru tersebar di sembilan wilayah, yakni di Jakarta Raya, Jawa Barat, Banten, Bali, Jawa Tengah dan DIY, Jawa Timur, Riau dan Kepri, Sumatera Selatan dan Jambi, serta Sumatera Utara.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×