Reporter: Veri Nurhansyah Tragistina | Editor: Havid Vebri
JAKARTA. Harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) di bursa komoditas global terus merangkak dalam beberapa bulan terakhir. Di Bursa Derivatif Malaysia (MDE), misalnya, harga CPO untuk pengiriman Februari 2011 bertengger di level US$ 1245,50 per metrik ton (MT). Harga ini naik 7,53% dari harga rata-rata Desember 2010 yang sebesar US$ 1158,25 per MT.
Dalam kondisi normal, lonjakan harga seperti itu bakal membuat sumringah para eksportir dan petani CPO Indonesia. Namun sekarang kondisinya berbeda. Meski harga terus naik, mereka mengaku tidak mendapat keuntungan maksimal akibat penerapan bea keluar (BK) secara progresif. Itu artinya setiap kenaikan harga, maka besaran BK yang mesti dibayar juga akan terkerek naik.
Fadhil Hasan, Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mengatakan, ketika harga CPO menyentuh kisaran US$ 1245,50 per MT seperti sekarang, maka BK yang dibebankan ikut terkerek menjadi 25%. Kondisi tersebut membuat pengusaha dan petani kehilangan potensi keuntungan yang cukup besar. Saat ini volume ekspor rata-rata CPO Indonesia adalah 15,6 juta ton. Jika dengan tingkat harga US$ 1245,50 per MT maka pengusaha harus membayar BK sebesar US$ 4,86 miliar per tahunnya. "Ini terlalu besar bagi kami," ungkap Fadhil kepada KONTAN, Senin (24/1).
Fadhil bilang, efek penetapan BK seperti ini tidak hanya membuat pengusaha kehilangan potensi keuntungannya saja. Ini juga membuat daya saing CPO Indonesia akan menurun karena harganya bakal lebih mahal dari CPO asal negara lain. Padahal, CPO merupakan salah satu komoditas ekspor unggulan Indonesia.
Para petani juga terkena imbas akibat penetapan BK ini. Sebelumnya, Asmar Arsyad, Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), menuturkan setiap beban BK sebesar US$1/ton maka harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit tergerus US$0,14/ton. Akibatnya, petani bakal kehilangan potensi keuntungan hingga Rp 40 miliar per tahunnya. "Kalau begini terus, harga CPO mau naik terus juga kita tidak merasakan apa-apa," tandas Asmar.
Fadhil menginginkan pemerintah merevisi kebijakan BK progresif menjadi BK yang tetap (flat). Menurutnya, BK CPO itu semestinya hanya sekitar 3% per ton saja. "Kalau tujuannya untuk mengamankan pasokan minyak sawit dalam negeri, besaran tersebut sudah ideal," tegas Fadhil.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News