Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi Sumber Daya Minera (ESDM) telah merilis Peraturan Menteri (Permen) ESDM nomor 5 tahun 2025 tentang Pedoman Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik dari Pembangkit Tenaga Listrik yang Memanfaatkan Sumber Energi Terbarukan pada Rabu (05/03).
Dalam penetapannya Permen ESDM No 5 Tahun 2025 ini untuk mewujudkan ketahanan energi melalui pemanfaatan energi terbarukan, perlu mendorong percepatan pengembangan energi terbarukan untuk penyediaan tenaga listrik termasuk energi terbarukan yang berasal dari pembangkit tenaga listrik berbasis sampah.
Terkait Permen baru ini, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE) ESDM Eniya Listiani Dewi mengatakan Permen ini akan mengatur mengenai PJBL lebih detail terutama yang berasal dari Energi Baru Terbarukan (EBT).
Lebih detail, dalam Permen ini mengatur kurang lebih PJBL terhadap sembilan jenis EBT yang tertulis dalam pasal 3 sebagai berikut:
a. pembangkit listrik tenaga panas bumi;
b. pembangkit listrik tenaga air;
c. pembangkit listrik tenaga surya fotovoltaik;
d. pembangkit listrik tenaga bayu;
e. pembangkit listrik tenaga biomassa;
f. pembangkit listrik tenaga biogas;
g. pembangkit listrik tenaga energi laut; dan
h. pembangkit listrik tenaga bahan bakar nabati
Dalam pasal 3 ayat 2, ditambah pula pembangkit tenaga listrik yang memanfaatkan sumber Energi Terbarukan dapat berupa pembangkit listrik berbasis sampah.
"Perlu disimak oleh industri, mitra, vendor, lender dan semua stakeholder. Jual beli listrik untuk excess power bagi PLTA, overhead steam dari PLTP, bagaimana least cost ditentukan untuk mengambil EBET, bagaimana posisi lender," ungkap Eniya melalui instagram resminya, Rabu (05/05).
Lebih lanjut, pola pembangunan dan pengoperasian dalam PJBL menurut Eniya akan dilakukan melalui dua sistem yaitu build-own-operate (BOO) atau build, own, operate, transfer (BOOT).
Baca Juga: Medco Power Mulai Operasi Komersial Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi di Ijen
"Boleh BOO atau BOOT sesuai kesepakatan, semua harga EBET di wilayah usaha non-PLN harus sesuai Perpres 112 dan banyak lagi yang lain," tambahnya.
Jangka Waktu PJBL Perlu Disesuaikan dengan Degradation Rate
Lebih detail, dalam Permen, Ahli Transisi Energi yang juga Direktur Eksekutif Institute Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa menyoroti terkait jangka waktu PJBL.
Memang, di pasal ke 5 ayat 1 Permen ini tertulis jangka waktu kontrak sebagai berikut:
(1) PJBL dilaksanakan untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun terhitung sejak terlaksananya COD dan dapat diperpanjang tanpa memperhitungkan biaya investasi awal.
Perhitungan 30 tahun ini menurutnya akan berbeda dari masing-masing sektor EBT karena terdapat degradation rate atau tingkat degradasi dari kemampuan pembangkit EBT menyalurkan listrik.
"Dalam waktu 10 tahun itu misalnya untuk Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) saja degradation rate-nya. Dengan modul yang terbaru itu bisa 3-5% lah kira-kira ya," ungkap dia.
Tingkat degradasi menurut dia akan semakin besar untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (Air) dimana IPP atau pelaku usaha listrik swasta harus meyakinkan bahwa sumber air selama dalam janga waktu kontrak harus tetap terjaga.
"Hidro kan beda juga dengan yang lain. Misal, hidro kan berarti selama 30 tahun harus dipastikan tuh debit area-nya ada gitu, seperti desain awal," tambahnya.
Dengan tingkat degradasi yang berbeda, menurutnya waktu kontrak PJBL paling lama 30 tahun masih terlalu lama.
"Menurut saya sebaiknya jangan sepanjang-panjang itu gitu, jangan terlalu 30 tahun. Mungkin kalau saya lihat Power Purchase Agreement (PPA) di negara lain itu 15-20 tahun, cukup," katanya.
Baca Juga: Krakatau Chandra Energi dan KTI Teken Jual Beli Tenaga Listrik PLTS Atap
Adapun, Fabby secara umum mengatakan dengan munculnya Permen ini maka terdapat potensi meningkatnya investasi di sektor EBT. Namun, realisasi akhir harus ditentukan dari kepastian dari PPA atau Perjanjian Pembelian Tenaga Listrik.
Untuk diketahui, PPA adalah kontrak jangka panjang antara pembeli dan penjual listrik.
"Kalau PPA lebih cepat itu kan financial cost-nya juga lebih cepat. Karena financial cost baru bisa ditentukan setelah PPA. Berartu konstruksinya lebih cepat, COD-nya juga akan lebih cepat," tambahnya.
Baca Juga: ESDM Targetkan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Mencapai 5 GW pada 2030
Selanjutnya: Kantongi Rp 39,25 Miliar, Ciputra Life Bidik Investasi Tembus Rp 1 Triliun di 2025
Menarik Dibaca: Jaga Kebugaran Saat Puasa, Ini Tips Diet Tanpa Nyeri Lambung dari Lighthouse
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News