kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Begini tanggapan sejumlah pihak soal usulan kajian PLTN oleh DPR RI


Rabu, 17 Juli 2019 / 21:35 WIB
Begini tanggapan sejumlah pihak soal usulan kajian PLTN oleh DPR RI


Reporter: Filemon Agung | Editor: Azis Husaini

KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Usulan Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia (DPR RI) agar Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengkaji pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan (RUKN) 2019-2038 menuai tanggapan dari berbagai kalangan.

Kepala Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara, Tata Mustafa bilang ada banyak alternatif sumber energi yang bisa dikembangkan ketimbang pengembangan PLTN. "Potensi tenaga surya 207 Gigawatt, tenaga angin sekitar 66 Gigawatt," ungkap Tata ketika dihubungi Kontan.co.id, Rabu (17/7).

Tata menilai dampak yang dihasilkan dari pengembangan nuklir patut dipertimbangkan. Tidak hanya lingkungan, menurut Tata tenaga nuklir juga dapat memberi dampak buruk bagi masyarakat. "Bukan tidak mungkin ke depannya akan muncul penolakan-penolakan," jelas Tata. Lebih jauh Tata menjelaskan, aspek keekonomian bahkan juga patut diperhitungkan.

Masih menurut Tata, pemerintahan Presiden Joko Widodo sebaiknya menaruk fokus pada pengembangan energi terbarukan yang dirasa lebih baik. Jika nantinya pemerintah mengembangkan PLTN, Tata meyakini perlu melihat kembali posisi Indonesia sebagai daerah rawan bencana seperti gempa.

"Sangat beresiko, kita diskusi dengan banyak kalangan dan ahli dan bisa niatan ini (memasukan PLTN dalam Prolegnas) terlihat seperti menyusup di regulasi yang ada," ujar Tata.

Senada, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai pengembangan PLTN tidak tepat dilakukan di Indonesia. "PLTN tidak kompetitif dan berkaca dari berbagai negara ada beragam dampaknya," sebut Fabby, Rabu (17/7).

Menurut Fabby, banyak negara sudah mulai mengurungkan niat pengembangan PLTN sebab punya dampak jangka panjang bagi lingkungan. "Usia operasi PLTN maksimal 50 tahun, tapi limbah radioaktifnya ribuan tahun dan siapa yang akann menanggung biayanya," jelas Fabby.

Menurut Fabby jika memang dirasakan perlu untuk dilakukan kajian, maka sebaiknya kajian tersebut dilakukan kendati sebelumnya sudah pernah dilakukan. Bahkan menurut Fabby, biaya konstruksi PLTN bisa membengkak melihat potensi daerah Indonesia yang tergolong rawan gempa. "Semakin besar potensi gempa maka biaya juga semakin besar," ujar Fabby.

Fabby juga menyoroti harga listrik yang dihasilkan PLTN yang menurutnya tidak kompetitif. "Initial capital cost untuk PLTN sekitar US$ 8.000 hingga US$ 9.000 per kilowatt, paling murah itu dan Biaya Pokok Produksi dari PLTN kisaran 14 sen hingga 18 sen per kWh," tandas Fabby.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×