Reporter: Dani Prasetya | Editor: Rizki Caturini
JAKARTA. Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu menargetkan batik menjadi motor penggerak ekonomi nasional. Untuk mencapai target itu, Mari beserta beberapa menteri Kabinet Indonesia Bersatu II, Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu (SIKIP) II, istri para duta besar, yayasan dan komunitas Pecinta dan Peduli Batik mendampingi Ibu Negara dan Ibu Wakil Presiden mengunjungi sentra batik di Pekalongan Jawa Tengah.
Pada siaran pers dia menyebut, kunjungan kerja yang berkaitan dengan perayaan Hari Batik Nasional pada 2 Oktober kemarin, dapat dijadikan momentum bagi pemangku kepentingan untuk pengembangan produksi batik sebagai motor penggerak ekonomi serta alat diplomasi.
Meski demikian, dia menyadari, penetrasi produk batik di pasar domestik masih terkendala berbagai hal. Tim Penyusun Cetak Biru Batik 2011 Kementerian Perdagangan mendata hal-hal yang menghambat penggunaan produk batik secara intensif di pasar dalam negeri.
Kendala pertama, katanya, diawali soal ketersediaan peralatan membatik. Dari 19 sentra batik di Indonesia, hanya ada enam usaha pembuat canting, 31 usaha pembuat cap batik, dan 10 usaha pembuat campuran malam. Padahal, total usaha batik yang tersebar di Pulau Jawa berjumlah 15.293 unit.
Kendala kedua, soal fluktuasi harga kain mori yang digunakan sebagai media batik. Harga kain mori yang terdiri dari dua jenis yaitu mori primisima dan mori prima mencatatkan kenaikan yang cukup signifikan akibat peningkatan harga kapas sejak 2009.
Selanjutnya, kendala ketiga, berkaitan dengan kemampuan manajemen, teknik mencanting atau mengecap halus dan pewarnaan batik. Secara keterampilan, perajin di sentra batik memiliki kemampuan rata-rata sebesar 91,7%.
Kendala keempat, jelas Mari, lebih berkaitan dengan calon konsumen. Hasil survei Tim Penyusun Cetak Biru Batik 2011 ternyata pencitraan batik pada calon konsumen menjadi penentu penetrasi produk tersebut di pasar domestik.
Selain itu, Menteri Perindustrian M.S. Hidayat juga pernah menyebut, pengembangan industri batik nasional itu dihadang tiga masalah utama. Masalah pertama yang menghantui adalah soal kurangnya regenerasi perajin batik.
Masalah kedua, soal bahan baku batik yaitu gondorukem. Penghasil bahan baku itu kurang berminat mengalokasikan gondorukem berkualitas baik untuk kebutuhan dalam negeri. Perum Perhutani cenderung mengekspor gondorukem berkualitas bagus ke luar negeri.
Untuk mengatasi hal itu, dia berjanji akan mendiskusikan hal itu dengan Perum Perhutani agar sewaktu-waktu bermusyawarah dengan perajin dan asosiasi sehingga dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri sebelum mengekspor. "Perundingan itu akan menyangkut tentang harga," katanya.
Lalu problem ketiga, soal pendidikan perajin batik yang belum memahami potensi batik sebagai bisnis. Dia mengatakan, bakal bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan agar seluruh sentra industri untuk mengatasi hal itu. "Saya akan membuat industri batik jadi industri unggulan," ucap Mari.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News