Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Petani sawit yang tergabung dalam Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) meminta pemerintah melanjutkan kebijakan pungutan ekspor (PE) sawit.
Dana pungutan telah dirasakan petani melalui berbagai kegiatan seperti Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), beasiswa anak petani serta buruh sawit, dan pelatihan kompetensi petani.
"Apkasindo tegaskan pungutan ekspor harus dipertahankan. Karena program ini menjadi bagian dari upaya pemerintah untuk meningkatkan perekonomian nasional serta daerah," ujar Gulat ME Manurung, MP, Ketua Umum DPP Apkasindo, Kamis (27/6).
Menurut Gulat, tudingan yang mengatakan bahwa pungutan ekspor tidak ada kaitannya dengan penurunan harga TBS petani. Ia menilai pungutan berdampak positif bagi petani. Sejak pertengahan 2015, dana pungutan yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) bermanfaat bagi para petani khususnya.
Sebagai contoh, ada 10.000 petani sawit Apkasindo di 22 provinsi dan 116 Kabupaten/Kota yang mendapatkan pelatihan teknis berkebun. Terkait program beasiswa, ada 1.500 anak-anak petani di 22 provinsi menerima beasiswa pendidikan D1 dan D3 sawit di Instiper Yogyakarta dan Poltek Sawit CWE.
Selain itu, dana pungutan juga dimanfaatkan bagi pengembangan riset dan kegiatan promosi sawit di dalam serta luar negeri. Adapula lebih dari 50.000 hektar lahan petani sudah mendapatkan hibah Rp 25 juta per hektar untuk program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR).
"Yang harus dicatat, PSR ini kebijakan strategis pemerintahan Joko Widodo dalam rangka meningkatkan kesejahteraan petani. Program tersebut dapat terjadi karena Presiden menerbitkan Perpres 61 Tahun 2015 dan berdirinya BPDP-KS. Selama negara ini berdiri, belum ada kebijakan strategis seperti itu," tegasnya.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Dewan Pimpinan Pusat Apkasindo Rino Afrino menambahkan, berdasarkan kajian tim Pakar dan diskusi Apkasindo bahwa pungutan ekspor ditunda penerapannya sejak Desember 2018. Artinya sampai hari ini tidak ada pungutan yang dilakukan pemerintah.
Namun apa yang terjadi, harga TBS sempat bergerak naik sampai Februari 2019 dan selanjutnya menukik turun sampai hari ini. "Jadi tidak ada relevansinya antara pungutan ekspor dengan harga TBS yang rendah belakangan ini" katanya.
Yang membikin harga TBS petani terus melorot kata Rino justru mekanisme teknis perhitungan harga dan tata niaga TBS di lapangan yang rancu. "Sudahlah rancu, penerapan sanksi pun tidak ada, sehingga semua sesuka PKS saja," ujar Rino.
Padahal dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) nomor 1 tahun 2018 tentang pedoman penetapan harga pembelian TBS produksi pekebun kata Rino, sudah jelas terstruktur aturan mainnya.
Rino mencontohkan dalam Pasal 4 Permentan dikatakan perusahaan perkebunan membeli TBS pekebun/petani mitra melalui kelembagaan pekebun.
"Ini artinya, pabrik mesti membeli dari kelembagaan petani dan harus ada kemitraan. TBS tidak dibeli dari tengkulak atau pengepul. Namun kenyataan di lapangan malahan pengepul dan tengkulak yang merajai," ujar Rino.
Dewan Pembina Apkasindo Bayu Krisnamurthi sepakat dengan pemberlakuan kembali pungutan ekspor. Alasannya, dana pungutan sangat berguna untuk industri persawitan nasional.
Salah satunya untuk kepentingan ketahanan energi dengan menciptakan biofuel yang akan sangat berdampak pada meningkatnya permintaan CPO di dalam negeri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News