Reporter: Noverius Laoli | Editor: Dupla Kartini
JAKARTA. Langkah pemerintah membuka keran impor daging sapi dan kerbau besar-besaran beberapa waktu lalu memukul bisnis peternak dan pedagang sapi lokal. Soalnya, harga daging lokal tidak bisa bersaing dengan harga daging kerbau dan sapi impor.
Selain itu, isu peredaran penyakit antraks juga turut berkontribusi menurunkan minat konsumen untuk membeli daging sapi lokal. Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) Teguh Boediyana mengatakan, saat ini harga sapi hidup di tingkat peternak rata-rata Rp 44.000-Rp 45.000 per kilogram (kg). Harga tersebut lebih rendah dari harga ideal yang seharsunya di kisaran Rp 47.000 per kg.
Bila daging ini diproses menjadi karkas (daging potong), harganya sudah di kisaran Rp 90.000 per kg. Jika ditambah ongkos kirim dan margin pedagang, harga di pasar sudah mencapai Rp 110.000-Rp 120.000 per kg. "Jadi harga daging sapi petani tidak mungkin bisa bersaing dengan daging impor yang dijual di kisaran Rp 65.000-Rp 80.000," ujar Teguh pada KONTAN, Rabu (15/2).
Teguh menjelaskan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mensyaratkan adanya kondisi darurat untuk pemasukan daging dari negara berdasarkan zona menimbulkan ketidakpastian bagi bisnis daging sapi di dalam negeri. Sebab, pemerintah belum membuat suatu kebijakan yang memberikan kepastian seperti apa yang dimaksud kondisi darurat tersebut.
"Putusan MK ini tidak hitam putih, tapi butuh penafsiran lagi. Akibatnya, putusan ini tidak berdampak positif bagi peternak sapi lokal," sesalnya.
Penjualan turun 50%
Kondisi ini membuat sejumlah peternak dan pedagang sapi lokal terpaksa mengurangi volume penjualan daging mereka. Selain kalah bersaing dalam harga, minat konsumen juga mulai beralih ke daging impor.
Ketua Asosiasi Pedagang Daging Sapi Segoroyoso (APDSS) Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta Ilham Akhmad mengatakan, sejak impor daging kerbau dan sapi dibuka lebar-lebar, penjualan daging kerbau lokal anjlok. Ia bilang, bisnis para peternak dan pedagang sapi turun hingga 50%. "Sebelumnya, kami bisa memotong lima ekor sampai delapan ekor sapi per hari di akhir pekan, tapi sekarang tinggal dua ekor sampai tiga ekor," katanya.
Ilham menjelaskan, sebelumnya, para pedagang sapi lokal di DIY bisa menjual daging sapi mereka ke Jawa Tengah hingga Jawa Barat. Tapi saat ini, mereka tinggal bertahan di Yogyakarta saja. Sebab di daerah Jawa Tengah dan Jawa Barat, ada banyak daging kerbau impor yang diperoleh pedagang dengan harga murah, tapi dijual sama dengan harga daging sapi lokal.
Para pedagang sapi dan kerbau cukup prihatin dengan kondisi ini. Sebab, kebijakan pemerintah hanya menguntungkan pedagang dan importir daging lantaran daging kerbau impor tetap saja dijual dengan harga tinggi.
Kemunduran bisnis penjualan daging sapi lokal tidak hanya memukul para pedagang daging lokal, tapi juga industri pakan ternak dan petani. Sebab, pembelian pakan ternak ikut berkurang drastis.
Kondisi ini diperparah lagi oleh peredaran informasi soal kasus penyakit antraks yang ditemukan di salah satu wilayah di Yogyakarta, akhir Januari 2017 lalu. Akibat isu peredaran penyakit itu, omzet penjualan pedagang daging semakin drastis. Akibat isu penyakit ini, banyak konsumen beralih dan tidak membeli daging sapi lokal.
Antraks merupakan penyakit yang disebabkan bakteri Bacillus anthracis yang bisa menginfeksi kulit, paru-paru, dan saluran pencernaan. Bakteri ini bisa menyebar ke manusia dari hewan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News