Reporter: Lidya Yuniartha | Editor: Sanny Cicilia
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mencatat, ekspor minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) Indonesia pada Agustus lalu sebesar 2,98 juta ton atau meningkat sebesar 24% dari produksi bulan sebelumnya yakni 2,4 juta ton.
Direktur Eksekutif Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Iskandar Andi Nuhung menjelaskan, kenaikan ekspor ditopang permintaan yang tinggi dari beberapa negara. Ekspor tersebut didukung pula dengan peningkatan produksi minyak sawit dalam negeri lantaran harga minyak sawit yang turut membaik.
"Permintaan meningkat karena pertama, sawit ini multifungsi, tidak hanya untuk minyak goreng, juga digunakan untuk industri kosmetik, bioenergi, dan industri farmakologi. Sekarang ekonomi dunia juga tidak terganggu, sehingga tidak mempengaruhi permintaan atas minyak sawit," tutur Iskandar, Selasa (10/10).
Sementara itu, dalam keterangan yang diberikan GAPKI, jumlah ekspor minyak sawit Indonesia ke China tertinggi terjadi pada bulan Agustus di mana produksinya menigkat 169% dari bulan sebelumnya atau dari 167.280 ton menjadi 449.200 ton. Iskandar pun memaklumi peningkatan permintaan ini. Menurutnya, China memang tengah membutuhkan minyak sawit untuk kebutuhan biofuel.
"China sedang mengembangkan biofuel, karena itu dia membutuhkan minyak sawit. Jadi wajar bila China banyak mengimpor minyak sawit dari Indonesia. Negara ini juga berupa negara besar yang mengonsumsi minyak nabati yang tinggi," jelas Iskandar.
Tidak hanya China, terdapat beberapa negara lain seperti India, Eropa, Amerika Serikat, dan Pakistan yang mengimpor sawit dalam jumlah besar. Menurutnya terdapat 30-40 negara tujuan ekspor minyak sawit Indonesia.
Meski India menetapkan tarif bea masuk untuk produk minyak sawit Indonesia, namun Iskandar berpendapat hal tersebut tidak menyurutkan jumlah ekspor minyak sawit Indonesia ke India. Menurutnya, sawit Indonesia sangat kompetitif dari segi kualitas dan harga sehingga negara seperti India sangat membutuhkannya.
"Walaupun dikenakan tarif, tetapi saya kira India masih membutuhkan minyak sawit yang besar. Selain itu, harga minyak nabati lainnya tinggi, sementara masyarakat India daya belinya tidak terlalu tinggi sehingga dia pasti mencari produk-produk yaang relatif lebih murah yakni sawit," tambah Iskandar lagi.
Iskandar tidak menyebutkan secara rinci berapa besar produksi sawit hingga Agustus tahun ini. Namun dia mengungkap, dalam kondisi normal produksi minyak sawit Indonesia setiap bulannya berkisar lebih dari 3 juta ton.
Iskandar memandang, produksi sawit ini masih berpotensi untuk dikembangkan. Pasalnya, produktivitas kebun sawit Indonesia hanya berkisar 3,4 ton sampai 3,5 ton per ha, sementara produktivitas di Malaysia berkisar 4,5 ton sampai 4,7 ton per ha. Jadi masih ada kesempatan memperbesar produktivitas hingga 1 ton per ha. Menurutnya bila hal ini dilakukan, maka produksi minyak sawit akan bertambah 7- 8 ton setiap tahunnya.
Sementara dia juga memandang selama permintaan pasar masih ada, ekspor minyak sawit indonesia masih akan terus bertumbuh. "Hingga Juli, jumlah ekspor minyak sawit Indonesia berkisar 14 juta ton. Dengan asumsi kondisi ini sama, sampai akhir tahun ekspor minyak sawit dapat mencapai 28 juta ton. Sementara konsumsi minyak nabati di Indonesia 8 juta ton per tahun. Untuk biofuel sekitar 4-6 juta ron. Kalau itu terpenuhi maka produksi kita sudah lebih dari 40 juta ton hingga akhir tahun," kata Iskandar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News