Sumber: KONTAN |
JAKARTA. PT Perikanan Nusantara (PN) menyatakan belum siap merger dengan unit usaha atau unit layanan jasa milik pemerintah lain. Alasannya, satu-satunya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sektor perikanan itu baru saja membukukan laba pada 2009.
"Untuk tiga tahun ini, kami harap kami dilepas dulu karena baru bisa mendapatkan keuntungan," kata Nasrun M. Patadjai, Presiden Direktur PT Perikanan Nusantara, Selasa (27/4). Nasrun bilang, pada 2009, BUMN yang melakukan ekspor ikan dan docking kapal ini baru mencatat keuntungan sekitar Rp 5 miliar di luar pajak. Jika ada merger, Nasrun khawatir akan memberikan beban bagi kinerja perusahaan.
Pernyataan Nasrun ini menanggapi rencananya Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad yang ingin BUMN perikanan tersebut bergabung dengan unit pelayanan Perum Prasarana Perikanan Samudera (PPS). "Kalau memang diinginkan seperti itu, bagi kami tidak masalah, tetapi kondisi sekarang belum memungkinkan," kata Nasrun.
Menurutnya, PT Perikanan Nusantara merupakan perusahaan negara yang bertugas mencari laba, sedang Perum PPS merupakan unit yang bertugas memberi layanan dan tidak bertujuan mencari keuntungan. Jika digabung, Nasrun khawatir sulit menyatukan dua kepentingan itu. Nasrun tak keberatan jika pilihan merger dengan sesama BUMN, seperti PT Garam.
PT Perikanan Nusantara merupakan perusahaan hasil merger dari empat BUMN sektor perikanan pada Oktober 2005. Empat perusahaan itu ialah PT Perikani, PT Usaha Mina, PT Perikanan Samodra Besar, dan PT Tirta Mina Raya. Modal dasar PT Perikanan Nusantara sebesar Rp 40 miliar, dan modal disetor Rp10,89 miliar.
PT Perikanan Nusantara kemudian berkembang, asetnya kini bernilai Rp 293 miliar dan memiliki 12 kantor cabang di Indonesia.
Menanggapi rencana Kementerian Keluatan dan Perikanan soal merger tersebut, Shidiq Moeslim, Ketua Umum Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN), berharap pemerintah tidak melakukannya.
Dia menginginkan kebijakan tidak berubah meski pejabat pemerintah, dalam hal ini Menteri Kelautan dan Perikanan, berganti. "Namun sayangnya, setiap ganti menteri, kebijakannya juga turut berganti," kata Shidiq.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News