Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Centre for Indonesian Resources Strategic Studies (Ciruss) menyoroti revisi regulasi terkait mineral dan batubara (minerba). Khususnya mengenai revisi Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 alias UU Minerba dan pembuatan Omnibus Law yang di dalamnya juga akan mengatur terkait kebijakan minerba.
Direktur Ciruss Budi Santoso menekankan pentingnya visi jangka panjang yang jelas dalam pengelolaan dan pemanfaatan minerba yang ada di Indonesia. Menurut Budi, sebelum merevisi regulasi, pemerintah harus lebih dulu menetapkan kebijakan nasional minerba.
"Kebijakan nasional itu mencakup prinsip-prinsip filosofi, tujuan, sasaran jangka pendek, menengah dan panjang yang ingin dicapai sesuai dengan amanah dalam UUD 1945," kata Budi dalam diskusi Pengaturan Omnibus Law Sektor ESDM yang digelar di Gedung MPR, Kamis (26/12).
Baca Juga: Kebutuhan Meningkat, PLN Jaga Pasokan Batubara premium
Sebagai informasi, Omnibus Law akan diajukan pada awal tahun depan. Omnibus Law ini juga akan menjadi rujukan dalam revisi UU Minerba yang ditargetkan rampung pertengahan tahun 2020.
Dalam regulasi terkait pertambangan ini, Budi berpendapat bahwa minerba tidak diposisikan sebagai komoditas dagang semata. Melainkan harus dimasukkan ke dalam kategori vital dan strategis yang dikuasai dan dimiliki oleh negara.
"Sehingga pengelolaannya dapat diatur berkaitan dengan peran tersebut untuk keberlanjutan energi dan masa depan. Pengurasan minerba sebagai komoditas dagang biasa sangat menyalahi cita-cita luhur pendiri bangsa," ungkap Budi.
Baca Juga: APBI menagih keputusan perpanjangan kontrak PKP2B
Menurut Budi, pengelolaan minerba yang vital harus dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Budi menyebut, pengelolaan oleh BUMN dan BUMD dapat memberikan keleluasaan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan, manfaat ekonomi dan mendorong daya saing nasional. "Masalah kemampuan BUMN dan BUMD yang masih belum optimal harus menjadi tantangan bagi pemerintah untuk memperbaiki," sambung Budi.
Sementara terkait hilirisasi, Budi berpendapatan bahwa konsep program nilai tambah satu Izin Usaha Pertambangan (IUP) satu smelter perlu ditinjau kembali. Menurut Budi, program hilirisasi atau peningkatan nilai tambah adalah kewajiban bagi pemerintah dan perlu dibuatkan rencana induk nasional yang didasarkan pada proyeksi kebutuhan atau ketersediaan sumber daya.
"Pabrik pengolahan dan pemurnian tersebut dapat dibangun oleh pemilik IUP atau mandiri dimana kelayakan ekonomi yang optimal menjadi dasar pembangunan pabrik tersebut," sebut Budi.
Baca Juga: Jokowi Tegaskan Larangan Ekspor Bauksit, ESDM: Belum ada Rencana Percepatan
Masih mengenai hilirisasi, pada kesempatan yang sama, Koordinator Presidium Ikatan Alumni Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan IPB Lukman Malanuang meminta hasil Rapat Koordinasi di Kementerian Koordinator (Kemenko) bidang Perekonomian pada September 2019 lalu segera direalisasikan.
Dalam hal ini, Lukman menyoroti mengenai hilirisasi yang menghasilkan produk samping. Namun, produk samping berupa slag masih dikategorikan sebagai limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Padahal, slag bisa dimanfaatkan untuk bahan infrastruktur seperti jalan, dermaga, maupun bangunan.
Baca Juga: Soal gugatan nikel oleh EU, Kadin: Perlu justifikasi soal alasan pelarangan ekspor
Dalam rapat koordinasi di Kemenko Perekonomian pada September lalu telah ada kesepakatan dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang menerbitkan peraturan mengenai slag sebelum akhir 2019 ini.
"Pemerintah perlu mempertimbangkan percepatan regulasi pemanfaatan slag sebagai bahan baku infrastruktur. Saat ini timbunan slag sangat masif. Sudah saatnya slag harus dikeluarkan dari kategori limbah B3," terang Lukman.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News