kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Cukai rokok naik tinggi tahun depan, Gaprindo angkat bicara


Rabu, 18 September 2019 / 14:34 WIB
Cukai rokok naik tinggi tahun depan, Gaprindo angkat bicara
ILUSTRASI. Ilustrasi Tembakau


Reporter: Tendi Mahadi | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Gabungan Pengusaha Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) ikut angkat bicara soal keputusan pemerintah yang menaikkan tarif cukai rokok sebesar 23% dan harga jual eceran (HJE) sebesar 35% pada tahun depan. 

Ketua Gaprindo, Muhaimin Moeftie mengatakan, industri rokok mengalami tren yang stagnan bahkan cenderung menurun dalam beberapa tahun terakhir. Pertumbuhan produksi sejak 2016 adalah negatif setiap tahunnya dengan kisaran minus 1% hingga 2%.

Menurut dia, pada 2018 hanya tersisa 456 pabrikan dari 1.000 pabrik rokok yang ada di 2012.

Baca Juga: Cukai Rokok Naik, Indonesian Tobacco Tetap Kejar Pertumbuhan Dua Digit

"Di samping itu, kami melihat kecenderungan pasar yang kian sensitif terhadap harga, di mana mayoritas konsumen lebih memilih rokok-rokok value for money dengan kisaran harga Rp15.000 - Rp20.000," kata dia dalam keterangan tertulis, Rabu (18/9).

Muhaimin menjelaskan, kenaikan cukai rokok sebesar 23% dan HJE 35% di tahun 2020 akan kian menghimpit kondisi industri rokok nasional. Dia bilang, pelaku industri tidak akan memiliki ruang bergerak yang cukup untuk menciptakan inovasi produk yang diperlukan untuk menghidupkan industri ini. Akibatnya, rokok ilegal berpotensi besar naik kembali. 

"Hal ini telah terjadi pada negara tetangga kita Malaysia di mana pada tahun 2015 pemerintah menaikkan cukai rokok sekitar 43% akibatnya rokok illegal meningkat drastis menjadi lebih kurang 60%. Akibatnya, penerimaan menurun karena jumlah pembelian pita cukai merosot tajam," jelas dia.

Hal lain yang harus menjadi bahan pertimbangan pemerintah dalam menaikkan tarif cukai, lanjut Muhaimin, adalah penghidupan petani tembakau, petani cengkeh, dan para pekerja di industri ini yang jumlahnya mencapai jutaan orang.

Baca Juga: Penggabungan SKM dan SPM tak akan pengaruhi pabrikan rokok kecil

Bagi petani, cukai yang kian tinggi dan penjualan yang menurun menyebabkan kebutuhan bahan baku berkurang. Akibatnya, para petani akan merugi karena tembakau serta cengkeh yang mereka hasilkan tidak terserap. Bagi para pekerja, penurunan volume produksi berarti potensi PHK.

Di sisi lain, Muhaimin berpendapat kenaikan tarif cukai dan HJE secara drastis belum tentu memiliki dampak terhadap tujuan yang ingin dicapai, yaitu penurunan prevalensi perokok, terutama kalangan anak dan perempuan.

Secara keseluruhan prevalensi merokok menunjukkan tren menurun, yaitu dari 36,3% (RISKESDAS, 2013) menjadi 33,8% (RISKESDAS, 2018).

"Kami berharap pemerintah mau berdiskusi tentang upaya bersama untuk mendorong pengendalian konsumsi sesuai aturan yang berlaku. Namun, hendaknya hal ini dapat dilakukan tanpa melakukan langkah ekstrem yang dapat mengancam keberlangsungan industri IHT," ungkap dia.

Baca Juga: PBNU tolak kenaikan cukai rokok 23% tahun depan

Gaprindo meminta pemerintah selalu membuka pintu diskusi saat menetapkan kebijakan cukai tahun 2020 dan bersikap transparan kepada pelaku industri karena kenaikan cukai sebesar 23% dan HJE 35% dinilai sangat memberatkan dan terlalu tinggi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×