Sumber: Antara | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengungkapkan jumlah pelaku usaha yang mengikuti Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) pada 2015 mengalami peningkatan dibandingkan 2014.
Dirjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Ida Bagus Putera Parthama di Jakarta, Jumat menyatakan, selama 2015 hingga Juli jumlah pengusaha yang memperoleh sertifikat baru SVLK sebanyak 828 lebih tinggi dari periode sama 2014 yang hanya 500.
"Dari seluruh eksportir produk kayu sebanyak 65 persen merupakan eksportir mebel yang mana 75 persennya sudah SVLK," katanya dalam Dialog Mingguan bertema Inisiasi Gerakan Beli Kayu Legal di Museum Kehutanan KLHK.
SVLK merupakan bukti bahwa kayu yang dijual maupun kayu yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan furnitur dan mebel adalah legal alias bukan berasal dari hasil pembalakan (illegal logging).
Menurut dia, salah satu upaya yang akan dilakukan KLHK untuk meningkatkan penerapan SVLK yakni mendorong kementerian maupun lembaga lain termasuk pemda agar dalam pengadaan barang di lembaga tersebut harus memilih kayu legal.
"Dalam E-procurement, nantinya disyaratkan agar produsen telah mengantongi sertifikat SVLK, yang tidak SVLK tidak bisa mengikuti E-procurement (lelang pengadaan barang)," katanya.
Terkait penerapan SVLK kalangan pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) mengharapkan agar dalam proses SVLK lebih mudah serta terjangkau biayanya.
"Kami para pelaku sadar bahwa untuk menjamin kesinambungan bisnis tetap maju harus ada perlindungan sumber-sumber bahan baku," ujar Wakil Ketua Asmindo bidang Pengkajian dan Hubungan Antar Lembaga, Hari Basuki.
Pihaknya mengakui, setelah penerapan SVLK sejak 2013 kecenderungan ekspor mebel mengalami kenaikan yang mana saat ini dari total nilai ekspor produk kayu sebanyak 9,9 miliar dolar AS sekitar 1,8 miliar dolar AS berasal dari mebel.
Terkait kendala sertifikasi SVLK, Hari Basuki mengungkapkan, justru umumnya berupa izin-izin dari Pemda seperti HGU dan amdal, sehingga diharapkan untuk industri kecil dan menengah (IKM) agar dipermudah.
Salah satu pengusaha produk kayu asal Sulawesi Utara Erik Sumakut mengakui, minimnya sosialisasi menyebabkan banyak pelaku usaha yang tidak mengetahui berlakunya SVLK.
"Kami dulu-dulu tidak mengurus SVLK karena kita nggak tahu. Baru ini saja (tahun 2015) ikut mengurus SVLK karena difasilitasi pemerintah," kata Direktur CV Ogratia Makna.
Kendala lain, mahalnya biaya pengurusan dan panjangnya proses pengurusan yang harus dilalui untuk memperoleh sertifikat SVLK tersebut.
Erik mengungkapkan, saat temannya mengurus SVLK sendiri biayanya kalau ditotal sampai Rp 75 juta, karena harus membayar transportasi dan akomodasi auditor untuk datang ke lokasi.
Kemudian, tak semua pelaku industri hilir meminati kayu dengan label SVLK karena harganya dianggap lebih mahal dari kayu tanpa sertifikat.
Menanggapi keluhan para pengusaha tersebut, KHLK pada tahun ini mengalokasikan anggaran senilai Rp400 juta untuk sertifikasi yang mana setiap kelompok menerima Rp30 juta.
"Jika satu kelompok beranggotakan lima perusahaan maka anggaran tersebut mampu membantu 75 perusahaan untuk memperoleh sertifikasi," kata Putera Parthama.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News