Reporter: Pratama Guitarra | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - Perpanjangan izin operasi PT Freeport Indonesia (PTFI) sampai tahun 2041, dengan beberapa syarat seperti divestasi saham 51%, pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnial mineral (smelter) dan stabilitas investasi berupa perpajakan bakal menempuh jalan terjal di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Bagaimana tidak, saat ini DPR belum satu suara terkait perpanjangan izin operasi perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) itu. Khususnya juga berkaitan dengan ketentuan divestasi 51% saham yang belum disepakati.
Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra, Hari Purnomo misalnya. Dia masih menaruh curiga bahwa kesepakatan yang digaungkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan benar-benar masih semu.
Pasalnya, Freeport belum sepenuhnya mau memberikan 51% saham di tahun ini. Namun, akan diberikan tahun 2021 atau lima tahun sejak Freeport menyandang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). “Jika perpanjangan diberikan sebelum divestasi 51% saham dan pembangunan smelter tuntas, jelas itu bertentangan dengan Undang-Undang Minerba (No. 04/2009),” terangnya kepada KONTAN, Kamis (31/8).
Karena asal tahu saja, divestasi 51% saham dilakukan secara bertahap, setelah lima tahun hingga tahun kesepuluh sejak perusahaan berproduksi. Hal itu tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 01/2017 tentang Pelaksana Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), maupun UU Minerba.
Nah, jika dirunut, seharusnya Freeport sudah menyelesaikan seluruh divestasi sahamnya tahun 2016 lalu. Maka dari itu, apabila ada hal yang berbeda dengan itu, kata Hari, maka perjalanan menuju kesepakatan seperti diamanatkan oleh UU Minerba masih sangat jauh. “Bahkan masih bisa gagal,” tegasnya.
Jadi, kata Hari, apabila perpanjangan izin operasi sudah diberikan sekarang taou nyatanya divestasi dan pembangunan smelter tidak dilakukan tahun ini maka akan melemahkan Indonesia. “Dengan kata lain, semua hanya akal-akalan saja, tidak ada bedanya dengan masa lalu. Freeport tetap menjadi pihak yang terlalu diuntungkan,” tandasnya.
Syaikul Islam Ali, Anggota Komisi VII dari Fraksi Partai PKB tidak mempermasalahkan perpanjangan izin operasi sampai tahun 2041, asalkan Indonesia menjadi pemegang saham mayoritas atau divestasi 51%. “DPR mendukung penuh Jokowi menasionalisasi Freeport dengan kepemilikan nasional yang mayoritas. Itu sudah cukup,” ungkapnya ke KONTAN.
Tapi ia bilang, adanya kesepakatan divestasi 51% saham tanpa adanya nilai valuasi saham hanya omong kosong dan masih mentah. “Kesepakatan divestasi harus satu paket dengan valuasi,” pungkasnya.
Anggota Komisi VII dari Fraksi Partai Golkar, Satya W. Yudha menganggap, hasil negosiasi yang sudah disepakati oleh pemerintah dengan Freeport haus dijadikan momentum memperkuat posisi tawar Indonesia.
Namun, kata Satya, yang harus ditekankan bagaimana kesepakatan-kesepakatan penting itu dilaksanakan secara konsisten. “Pemerintah tetap harus tegas, dan Freeport harus tunduk hasil negosiasi tersebut,” terangnya kepada KONTAN, Kamis (31/8).
Menyoal perpanjangan izin operasi sampai tahun 2041, menurut Satya, pemerintah tidak akan mengabulkan perpanjangan izin operasi apabila Freeport tidak patuh dalam merealisasikan poin-poin penting dalam negosiasi. “Tidak serta merta perpanjangan diberikan pemerintah, apabila Freeport tidak benar-benar berpegang pada hasil final negosiasi dengan pemerintah,” pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News