Reporter: Gloria Haraito | Editor: Djumyati P.
JAKARTA. Setelah tiga tahun mengalami penurunan, ekspor kayu olahan diharapkan bisa meningkat tahun ini. Krisis finansial global yang menerpa AS dan Eropa memang menurunkan pembangunan rumah dan berimbas pada penurunan permintaan kayu olahan asal Indonesia.
Menurut data Asosiasi Kayu Gergaji dan Olahan Indonesia alias Indonesia Sawmill & Woodworking Association (ISWA), pada tahun 2007 ekspor kayu olahan dan gergaji Indonesia mencapai 1,7 juta meter kubik (m3). Ekspor ini mendatangkan devisa sebesar US$ 1,25 miliar. Di tahun 2008, jumlah ekspor kayu olahan dan gergaji menurun 5,8% menjadi 1,6 juta m3 dengan nilai devisa US$ 1,19 miliar. Menginjak tahun 2009, ekspor kayu olahan dan gergaji kembali turun 18,75% menjadi 1,3 juta m3 dengan nilai devisa US$ 912 juta.
Sepanjang lima bulan pertama tahun ini, ekspor kayu olahan dan gergaji mencapai 655.000 m3 dengan nilai devisa US$ 433 juta. Demi mengatasi penurunan ekspor ini, sebagian pengusaha mengalihkan produksinya ke pasar domestik. Setiap tahun, Indonesia membutuhkan sekitar 13 juta m3 kayu olahan dan kayu gergaji.
Ketua ISWA, Soewarni mengatakan, sebelum krisis global, saban tahunnya ada 1,8 juta rumah baru yang dibangun di AS. Namun krisis memukul daya beli masyarakat AS sehingga pembangunan rumah pada tahun 2009 tak lebih dari 300.000 unit. Permintaan flooring alias kayu untuk lantai yang biasanya banjir dari Spanyol pun turun drastis.
"Selain menurunkan ekspor, permintaan yang turun ini pun menyebabkan harga jual turun," tutur Soewarni kepada KONTAN hari ini. Sekadar catatan, tahun 2007 harga rata-rata kayu olahan untuk komponen rumah mencapai US$ 655 per m3. Harga rata-rata ini sempat naik 7% tahun 2008 menjadi US$ 712 per m3. Tahun 2009 harga rata-rata kembali turun 5,8% menjadi US$ 670 per m3. Nah, lima bulan pertama tahun ini harga rata-rata turun tipis 1,4% menjadi US$ 660 per m3.
Soewarni mengatakan, penurunan harga ini disebabkan oleh bahan baku yang berasal dari hutan kebun dan hutan rakyat yang kebanyakan belum sesuai dengan standar verifikasi legalitas kayu. Demi memenuhi syarat tersebut, Menteri Kehutanan menerbitkan Peraturan Menhut No.38/2009 tentang Sistem Verifikasi Legalitas Kayu. Dalam aturan ini, pemerintah menunjuk Komite Akreditasi Nasional (KAN) untuk menunjuk lembaga penilai independen yang akan menelurkan sertifikasi legalitas kayu.
"Hal ini terkait dengan isu ramah lingkungan, maka negara tujuan ekspor menginginkan bahan baku kayu olahan berasal dari hutan rakyat bukan dari hutan alam," terang Soewarni. Sampai hari ini, baru Badan Revitalisasi Industri Kehutanan (BRIK) dan Sucofindo yang lolos sebagai lembaga penilai independen. Padahal, ada sekitar 700 produsen kayu olahan dan kayu gergaji yang perlu diberi sertifikasi.
Soewarni optimistik tahun ini akan banyak lembaga penilai independen baru yang bermunculan. Dus, akan lebih banyak produsen yang mengantongi sertifikasi dan bisa meningkatkan ekspornya. Melihat faktor pendukung itu, ISWA menargetkan ekspor kayu olahan dan gergaji tahun ini akan naik 15,38% hingga mencapai 1,5 juta m3 dengan devisa US$ 1,2 miliar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News