Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mengungkap kekhawatiran soal langkah pemerintah dalam melaksanakan Mandatori Biodiesel B40.
Pemerintah tahun ini memang telah berencana meningkatkan persentase pencampuran Bahan Bakar Nabati (BBN) kedalam Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Minyak Solar sebesar 40 persen atau B40 sebagai peningkatan dari B35.
Untuk diketahui, Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menyetujui keberlanjutan Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAN-KSB) dilanjutkan oleh pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto di tahun 2024-2029.
Baca Juga: Program Biodiesel B40 Prabowo-Gibran Butuh CPO 17,57 Juta Kiloliter
Mengutip dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, langkah ini diambil karena Indonesia telah menjadi negara produsen sawit terbesar di dunia dengan total produksi lebih dari 56 juta ton dan ekspor mencapai 26,33 juta ton.
Ditambah, Indonesia telah mencatatkan nilai ekspor kelapa sawit dan turunannya di tahun 2023 mencapai US$ 28,45 miliar atau 11,6 persen terhadap total ekspor nonmigas dan ekspor produk sawit Indonesia tersebut juga telah menjangkau lebih dari 125 negara. Serta realisasi penyerapan biodiesel domestik tahun 2023 mencapai 12,2 juta kilo liter dan ini dirasa sangat mempengaruhi untuk menyerap penggunaan CPO di dalam negeri.
Meski begitu, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) Eddy Martono mengatakan dengan dengan mandatory B40 kemungkinan ekspor sudah mulai berkurang.
“Kebutuhan untuk B35 sekitar 12 juta ton CPO, kemudian kebutuhan untuk B40 sekitar 14 juta ton CPO dan kebutuhan pangan saat ini sekitar 10,2 juta ton,” ungkap Eddy kepada Kontan, Senin (29/04).
Ia menambahkan, kalau dinaikkan menjadi B40 maka kebutuhan dalam negeri untuk pangan dan energi sekitar akan berada di angka 24 juta ton.
“Produksinya kita sekitar 50-an juta ton CPO, stock rata-rata sekitar 4 sampai 5 juta ton,” ungkapnya.
Sedangkan ekspor Indonesia saat ini didominasi oleh produk refine palm oil, artinya dari sisi ekspor jika mengikuti mandatory dinaikkan menjadi B40 maka sekitar akan berada di angka 30-an juta ton.
Baca Juga: Melihat Dampak Positif Industri Sawit Bagi Perekonomian, Sosial dan Lingkungan
“Ekspor kita di tahun 2022 sebesar 32 juta ton, dengan mandatory B40 kemungkinan ekspor sudah mulai berkurang. Yang menjadi masalah apabila pasokan minyak sawit Indonesia ke pasar internasional berkurang maka ini akan menaikkan harga minyak nabati dunia termasuk minyak sawit, apabila suply dunia berkurang. Dan ini juga otomatis akan mempengaruhi harga minyak dalam negeri,” ungkapnya.
Eddy sebelumnya juga telah mewanti-wanti bahwa ekspor sawit di tahun ini berpotensi stagnan, walaupun naik diperkirakan hanya 5% dari 2023. Ini terjadi karena adanya peningkatan konsumsi domestik.
“Periode 2005 – 2010 terjadi penurunan produksi sebesar 10% berikutnya 2010 – 2015 turun 7,4%, kemudian periode 2015 – 2020 turun 3,2% dan seterusnya stagnan. Dalam tiga tahun terakhir sepanjang 2020 – 2022 pertumbuhan produksi adalah negatif menunjukkan adanya masalah struktural pada kelapa sawit industri,” katanya.
Produksi minyak sawit dalam negeri juga relatif stagnan pada periode empat tahun terakhir meskipun dengan tren menurun. Produksi yang diperkirakan sedikit lebih tinggi pada 2023 dibandingkan tahun 2022 pun menurutnya adalah sebagai imbas dari pulihnya hasil produksi sawit dan tanaman yang baru dipanen.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News