Reporter: Bernadette Christina Munthe | Editor: Rizki Caturini
JAKARTA. Inflasi bulan Oktober tampaknya akan terkendali, khususnya yang bersumber dari bahan makanan pokok. Sebab,mayoritas harga bahan pokok yang stabil, bahkan cenderung turun di Oktober. Namun, pemerintah mesti waspada harga beras dan cabai yang cenderung naik.
Kementerian Perdagangan (Kemdag) mencatat, harga cabai merah keriting rata-rata naik 24,2%, dari Rp 18.659,4 per kg pada September menjadi Rp 23.174,9 per kg pada Oktober. Di hari-hari terakhir bulan Oktober ini, harga cabai merah keriting mencapai Rp 25.000 per kg.
Kenaikan harga cabai merah biasa juga cukup tinggi, yakni menanjak 14,44% dari Rp 19.008,35 per kg pada September menjadi Rp 21.753,85 per kg di Oktober.
Petugas Pusat Data dan Informasi Pasar Induk Sayuran dan Buah Kramat Jati Suminto mengatakan, harga cabai bertahan tinggi akibat permintaan dari luar daerah yang membeludak melampaui pasokan. “Pasokan hari ini 215 ton. Tapi harga tetap tinggi karena permintaan juga sangat tinggi,” kata Suminto.
Daerah-daerah yang menyerap pasokan cabai merah dari Jawa misalnya Medan, Padang, Pangkal Pinang, Batam, dan Bangka Belitung.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Gunaryo menambahkan, harga cabai bertahan tinggi karena produksi saat ini rendah. “Saat ini, sebagian daerah sentra produksi cabai masih dalam masa tanam. Desember nanti, saat panen mungkin harga baru turun,” kata Gunaryo.
OP tak membantu
Selain cabai, kenaikan harga tertinggi kedua adalah beras. Rata-rata harga beras medium naik 1,5% dari Rp 7.474,3 per kg pada September menjadi Rp 7.586,25 per kg di bulan Oktober ini.
Harga beras bertahan tinggi karena jumlah produksi beras nasional rendah. Pemerintah sudah mengucurkan lebih dari 200.000 ton beras melalui Operasi Pasar (OP). Namun, ini belum juga berhasil mengendalikan harga beras.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) Ngadiran menduga, beras OP belum bisa menstabilkan harga beras di pasaran karena penyalurannya tak tepat. “Pemerintah bekerja sama dengan pedagang beras. Tapi, oleh mereka justru dicampur dengan beras yang kualitasnya lebih bagus. Makanya harganya naik,” kata Ngadiran.
Gunaryo menjawab, pencampuran bukan untuk membohongi konsumen tetapi memenuhi selera pasar. Menurutnya, yang penting pedagang menjelaskan bahwa beras yang mereka jual campuran atau memang beras premium.
Ia sendiri berpendapat, harga beras tetap tinggi karena beras OP tidak masuk ke seluruh daerah. “Tidak semua bupati dan walikota mau menerima beras OP, alasannya mereka masih panen sehingga takut merusak harga petani,” paparnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News