Reporter: Andy Dwijayanto | Editor: Rizki Caturini
JAKARTA. PT Renuka Coalindo Tbk sedikit terbantu dengan kenaikan harga batubara beberapa bulan terakhir. Seiring peningkatan harga batubara internasional tersebut, juga terjadi peningkatan permintaan. Salah satu pemicu kenaikan tersebut adalah membaiknya permintaan dari China.
Shantanu Lath, Direktur Utama Renuka, mengaku, saat ini memang sudah ada perusahaan China yang ingin membeli, tapi pihaknya belum melakukan penjualan apa-apa ke sana. Renuka masih fokus mengekspor ke India. Total ekspor ini sebesar 90% dari rerata total produksi sekitar 600.000 metrik ton per tahun.
Sedangkan sisanya dijual ke domestik, seiring kenaikan permintaan untuk mendukung proyek pengembang listrik swasta membangun PLTU di berbagai daerah. Harga si hitam telah meningkat pesat dalam tiga bulan terakhir. Saat ini permintaan lebih banyak dari pasokan batubara berkalori 4.200 kilo kalori per kilogram (kkal/kg). "Harga sudah mencapai US$ 35 per ton, padahal enam bulan sebelumnya hanya di US$ 26 per ton," ujarnya kepada KONTAN, Senin (19/9).
Dia mengungkapkan, India menjadi tujuan ekspor, karena lebih dekat dari Jambi, sehingga biaya angkut lebih murah. Sedangkan, permintaan dari China biasanya akan menyasar produsen batubara di Kalimantan.
Seperti diketahui, Renuka saat ini memiliki konsesi pertambangan melalui anak usahanya, PT Jambi Prima yang memegang izin usaha pertambangan (IUP) seluas 1.000 hektare (ha) dan PT Surya Global Makmur dengan IUP mencapai 2.600 ha, yang diakuisisi 26 Mei 2014 lalu.
Kedua tambang Renuka itu terletak di Sorolangun, Jambi dan tercatat memiliki cadangan batubara mencapai 212,9 juta ton. Sebenarnya, Renuka berencana menggenjot produksi tahun ini hingga 5 juta ton. Tapi rencana tersebut terkendala belum pulihnya harga batubara.
Pada semester I-2016, penjualan Renuka anjlok 57,51% menjadi US$ 1,16 juta. Padahal di periode yang sama tahun lalu masih US$ 2,73 juta. Seluruh penjualan Renuka pada enam bulan pertama mengalir ke Renuka Energu Resource Holding, yang merupakan pihak berelasi atau pemegang saham mayoritas.
Kendati penjualan menurun, perusahaan berhasil mengurangi kerugian hingga 67,56% dari US$ 450.205 menjadi US$ 148.937. Sayang, Shantanu belum mau membeberkan target pendapatan hingga akhir tahun dan rencana bisnis ke depan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News