kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45905,71   -0,59   -0.06%
  • EMAS1.318.000 0,61%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Harga Beberapa Soft Commodities Meningkat, Begini Respon YLKI


Selasa, 15 Februari 2022 / 19:30 WIB
Harga Beberapa Soft Commodities Meningkat, Begini Respon YLKI
ILUSTRASI. Gandum. REUTERS/Pascal Rossignol TPX IMAGES OF THE DAY


Reporter: Amalia Nur Fitri | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai jika Pemerintah tidak melakukan intervensi atau subsidi produk-produk yang mengalami kenaikan harga, maka masyarakat tidak memiliki pilihan selain mengikuti harga pasar.

Sebagai informasi, kenaikan harga soft commodities yang terjadi pada CPO, gandum, kedelai, jagung, beras, dan lainnya terus terjadi. Harga jual kedelai impor menanjak hingga Rp 11.000 per kg dari harga normalnya rata-rata Rp 6.500 per kg. Harga jagung di Bursa Chicago menembus US$ 6,51 per bushel, naik 11% dari posisi terendah setahun terakhir US$ 5,85 per bushel.

"Jika Pemerintah memberikan subsidi atau insentif untuk membebaskan biaya impor, maka harga komoditas tersebut bisa lebih murah sampai ke pasar dalam negeri atau saat sampai ke end user dalam bentuk produk jadi," ujar Ketua Harian YLKI, Tulus Abadi kepada Kontan, Selasa (15/2).

Baca Juga: Harga Jagung Global Terus Naik, Begini Tanggapan Pelaku Usaha Pakan Ternak

Ia melanjutkan, Pemerintah juga perlu membuat skema kebijakan agar kenaikan harga di pasar soft commodities internasional tidak berdampak di pasar dalam negeri.

Sebagai contoh lain, dirinya memberikan gambaran pada kedelai yang memiliki impor tinggi. Hal ini nantinya akan memberatkan petani dan pengrajin tempe sebab harus membeli dengab harga impor yang mengalami lonjakan. "Jika pemerintah tidak memiliki jalan lain, maka masyarakat jadi tidak punya pilihan," sambungnya.

Ia mengatakan hal yang sama juga terjadi pada komoditas CPO dimana terjadi tarik ulur antara kebijakan B20 dengan konsumsi minyak goreng yang tinggi di masyarakat.

Dirinya menilai, salah satu jalan yang bisa dipertimbangkan Pemerintah adalah membuat alternatif pengganti CPO. Hal ini dilakukan sebagai upaya jangka panjang untuk mengurangi ketergantungan terhadap komoditas tersebut.

"Jika impor makin tinggi dan upaya menekan energi karbon sulit dilakukan, maka mencari alternatif pengganti untuk jangka panjang. Misalnya untuk minyak goreng, mencari bahan baku non-CPO," pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×