Reporter: Elisabeth Adventa | Editor: Rizki Caturini
JAKARTA. Kementerian Perdagangan (Kemdag) pekan lalu menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) daging beku, baik sapi maupun kerbau di pasar ritel modern sebesar Rp 80.000 per kilogram (kg). Namun, langkah intervensi harga yang dilakukan pemerintah itu dinilai tak akan efektif, karena harga daging di pasar tradisional tak ikut diintervensi pemerintah.
Apalagi pasar ritel modern yang ditunjuk Kemdag untuk menjual harga sesuai HET, lokasinya tak merata sehingga banyak masyarakat yang kesulitan memperoleh daging sapi dengan harga miring. Mestinya, HET juga diberlakukan di pasar tradisional karena hampir 70% konsumsi daging masyarakat dipasok dari pasar tradisional.
Ketua Asosiasi Pedagang Daging Indonesia (APDI) Asnawi menilai pemerintah tak serius dalam upaya menurunkan harga daging sapi di pasaran. Itulah sebabnya harga daging saat ini masih tinggi berkisar Rp 120.000 per kg.
Menurutnya kebijakan menjual daging sapi beku lebih murah di pasar ritel modern tidak relevan menjawab kebutuhan masyarakat yang lebih sering menjangkau pasar tradisional ketimbang pasar modern. "Kalau ada daging beku di pasar tradisional dengan harga Rp 80.000 per kg itu hanya daging kerbau milik Bulog dan itu pun tak merata harganya," ujar Asnawi kepada KONTAN, Selasa (18/4).
Menurut Asnawi, pedagang daging sapi di pasar tradisional tidak akan menyesuaikan harga daging sapi, sama seperti harga yang ditetapkan di pasar ritel modern. Walaupun kelak kebijakan HET ini ditetapkan menyeluruh.
Ia mengungkap ada sejumlah faktor yang membuat pedagang tak bisa menurunkan harga jual daging sapi. Pertama, soal modal. Menurutnya, untuk bisa menjual daging sapi beku lebih murah, pedagang pasar mesti membeli dalam jumlah besar.
Asal tahu saja, Asosiasi Distributor Daging Indonesia (ADDI) bisa memasok daging beku ke pasar ritel modern dengan harga lebih murah karena harus membeli daging dalam jumlah 20 kontainer sekaligus. "Kemampuan kami maksimal hanya 2 kontainer," ujarnya.
Kedua, pedagang tak punya sarana pendukung. Asnawi bilang pedagang daging tak memiliki alat pendingin dan mesin pemotong daging otomatis. Maklum, daging beku biasanya dipasok dalam ukuran yang besar sehingga mesti dipotong ulang.
Asnawi mengklaim pernah mengkalkulasi, dengan segala keterbatasan yang dimiliki baik modal dan peralatan, pedagang hanya bisa menjual di harga Rp 84.000 per kg, namun nilai ini belum termasuk biaya listrik dan lain-lain.
"Kalau pemerintah ingin harga daging beku Rp 80.000 per kg, bisa kerjasama dengan pedagang eceran. Semua fasilitas disediakan pemerintah.
Masih masuk akal
Namun Ketua Umum Asosiasi Importir Daging Indonesia (Aspidi) Thomas Sembiring justru menyebut harga daging sapi beku sebesar Rp 80.000 per kg masih masuk akal untuk diterapkan, baik di pasar ritel modern maupun tradisional. Namun, ia mengungkap harga tersebut tak berlaku untuk bagian daging tertentu yang harganya memang mahal.
"Hanya bagian tertentu seperti paha depan yang bisa dijual Rp 80.000 per kg. Pasalnya dari Australia harganya juga masih terjangkau, sekitar US$ 4-US$ 6 sudah termasuk biaya kirim sampai Tanjung Priok," terangnya.
Thomas bilang saat ini harga sapi impor di negara asalnya tidak meningkat signifikan. Namun sampai Indonesia lebih mahal karena dipengaruhi oleh nilai kurs rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS). Untuk itu pemerintah harus mampu menjaga stabilitas nilai tukar bila ingin menjaga harga daging.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News