Reporter: Dani Prasetya | Editor: Rizki Caturini
JAKARTA. Asosiasi Timah Indonesia (ATI) optimistis harga ekspor timah bisa mencapai US$ 25.000-US$ 26.000 per ton. Penghentian perdagangan langsung di pasar spot dianggap mampu menekan para pedagang di London Metal Exchange (LME) untuk menaikkan harga.
Dari 28 pemegang lisensi ekspor timah, sekitar 15 produsen aktif yang melakukan aktivitas perdagangan. Dari jumlah itu, hanya PT Timah Tbk yang memiliki transaksi kontrak jangka panjang dengan porsi sekitar 40% dari total ekspor. Sisanya, melakukan ekspor di pasar spot atau perdagangan langsung.
"Makanya kami minta penghentian ekspor karena mayoritas bertransaksi di pasar spot," ujar Direktur Eksekutif ATI Rudi Irawan, Kamis (3/11).
Selama penghentian ekspor ini, para anggota ATI lebih memilih untuk menyimpan timah yang sejatinya dialokasikan untuk ekspor itu untuk perdagangan selanjutnya jika harga sudah naik.
Rudi menjelaskan, harga yang dipatok di LME sekitar US$ 21.000 per ton itu masih merugikan produsen timah. Angka itu belum menutupi biaya tetap, biaya variabel dan produsen belum mendapatkan keuntungan yang cukup.
Secara keseluruhan, rencana itu didesain sebagai langkah jangka panjang agar Indonesia menjadi pengendali harga timah dunia. Sebab, menurut Rudi, dari sekitar penjualan timah di London Metal Exchange (LME) sekitar 80% merupakan pasokan dari Indonesia.
Padahal, Indonesia hanya menduduki posisi keempat sebagai pemilik cadangan timah terbesar di dunia. China memegang posisi pertama dengan cadangan timah sebanyak 3,5 juta ton. Negara itu menghasilkan sekitar 100.000 ton per tahun ditambah timah hasil daur ulang sisa solder sebanyak 40.000 ton.
Lalu, posisi kedua dipegang Amerika Latin dengan cadangan timah sebanyak 2,5 juta ton. Sayangnya, Amerika Latin tidak mengeksplorasi tambangnya dan lebih memilih impor.
Posisi ketiga dipegang oleh Peru yang memiliki cadangan timah sebanyak 1 juta ton. Setiap tahunnya, negara itu memproduksi 30.000 ton timah, tapi ternyata hanya bisa dialokasikan untuk pasar domestik. Bahkan, negara itu masih kekurangan pasokan karena kebutuhan pasar dalam negeri mencapai 36.000 ton.
Kemudian, posisi keempat dipegang oleh Indonesia yang disebut hanya memiliki sisa cadangan sebesar 900.000 ton. Setiap tahunnya, produsen dalam negeri menghasilkan 78.000 ton timah dengan porsi 6.000 ton per bulan untuk ekspor dan 500 ton sebagai alokasi kebutuhan pasar domestik.
Proporsi itu, ujarnya, menggambarkan pasar ekspor dunia yang mengandalkan pasokan timah asal Indonesia. Negara lain seperti Kongo dan Malaysia memang melakukan transaksi ekspor, tapi beberapa riset menyebut produsen elektronik asal Jepang dan Taiwan hanya mau menerima pasokan timah asal Indonesia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News