kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.455.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.155   87,00   0,57%
  • IDX 7.743   -162,39   -2,05%
  • KOMPAS100 1.193   -15,01   -1,24%
  • LQ45 973   -6,48   -0,66%
  • ISSI 227   -2,76   -1,20%
  • IDX30 497   -3,22   -0,64%
  • IDXHIDIV20 600   -2,04   -0,34%
  • IDX80 136   -0,80   -0,58%
  • IDXV30 141   0,18   0,13%
  • IDXQ30 166   -0,60   -0,36%

Hilir kakao makin ramai


Senin, 26 September 2011 / 10:06 WIB
Hilir kakao makin ramai
ILUSTRASI. Perdana Menteri Inggris Boris Johnson memberikan pidato di Exeter College Construction Centre, Inggris, Selasa (29/9/2020).


Reporter: Bernadette Christina Munthe | Editor: Rizki Caturini

JAKARTA. Bisnis industri pengolahan kakao di Indonesia bakal semakin ramai. Rencana masuknya berbagai perusahaan kelas dunia – seperti Nestle dan Cargill Cocoa and Chocolate Inc – akan menambah ketat persaingan di pasar produk olahan kakao.

Di Indonesia, terdapat 14 perusahaan pengolahan kakao dengan total kapasitas terpasang 576.000 ton per tahun. Namun, tidak semuanya aktif. Menurut data Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo), saat ini hanya 7 dari 14 perusahaan itu yang beroperasi dengan kapasitas 449.000 ton.

Sedangkan data Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) menyatakan, kini sudah 10 perusahaan yang berjalan. Lalu, masih ada empat yang belum beroperasi karena masalah internal. Tetapi ada juga yang sedang bersiap mau beroperasi lagi. "Karena mereka lama tidak beroperasi, jadi dibutuhkan persiapan yang agak lama," kata Ketua AIKI, Pieter Jasman, saat dihubungi KONTAN, Minggu (25/9).

Sebagian perusahaan pengolahan cokelat itu tidak aktif karena sejumlah masalah. Ketua Umum Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) Zulhefi Sikumbang memaparkan, industri pengolahan kakao di dalam negeri sulit berkembang karena semuanya menghasilkan produk serupa, yaitu produk setengah jadi. Selain itu, mereka juga bersaing berebut bahan baku biji kakao. Soalnya, biji kakao "lari" ke luar negeri.

Zulkifli bertambah khawatir dengan rencana masuknya sejumlah investor besar ke Indonesia. Ia cemas industri cokelat skala menengah dan kecil kalah bersaing dan akan semakin terjepit. "Kalau perusahaan-perusahaan besar masuk dan suplai kurang, ini bisa menjadi masalah," tandasnya.

Berbeda dengan Zulkifli, Pieter tetap optimistis dengan masuknya para investor besar. Ia meyakini para raksasa industri cokelat dunia tidak akan mengambil pangsa pasar industri cokelat lokal.

"Masing-masing punya pangsa pasar sendiri. Para investor asing ini sudah punya pasar sendiri di luar negeri yang permintaannya cokelat premium," jelasnya. Sementara, produksi industri dalam negeri umumnya masih cokelat yang medium.

Pieter mengatakan, saat ini penyerapan biji kakao oleh industri pengolahan lokal juga naik. Pada 2010, tingkat penyerapan sebesar 120.000 ton, sedang tahun ini diperkirakan bisa mencapai 280.000 ton. Ia pun optimistis tahun depan penyerapan industri pengolahan kakao bisa menjadi 400.000 ton. Ia juga tak khawatir soal keterbatasan pa-sokan bahan baku. Menurutnya, saat ini produksi kakao masih lebih tinggi daripada kapasitas terpasang industri.

Ekspor naik

Pada paruh pertama 2011, Kementerian Perdagangan mencatat ekspor kakao turun. Namun, sebenarnya penurun-an itu hanya terjadi pada ekspor biji kakao.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor kakao dan produk olahan kakao pada enam bulan pertama 2011 turun 7,93% dibandingkan tahun lalu. Yakni, menjadi US$ 661,12 juta, dari US$ 718,06 juta tahun lalu. Volume ekspor kakao dan produk turunan kakao pada semester pertama juga merosot 15,31%, dari 236.573 ton di semester I 2010 menjadi 200.354 ton pada semester I 2011. Hal ini juga dipengaruhi oleh produksi kakao yang turun karena gangguan cuaca pada awal tahun.

Namun, jika dilihat lebih rinci, penurunan ekspor hanya terjadi pada komoditas biji kakao. Nilai ekspor biji kakao menurun 32,13%, dari US$ 518,51 juta pada semester pertama tahun lalu, menjadi US$ 351,89 juta.

Sebaliknya, ekspor produk turunan kakao seperti cocoa butter justru naik dari sisi volume maupun nilai. Volumenya naik 62,4%, dari 20.425 ton menjadi 33.171 ton. Adapun nilai ekspornya naik 21,45%, dari US$ 112,58 juta menjadi US$ 136,73 juta.

Nilai ekspor bubuk kakao juga melonjak 49,55%. Jika di semester I 2010 hanya US$ 45,97 juta, tahun ini mencapai US$ 68,75 juta. Sementara di sisi volume, ekspor bubuk kakao naik 6,73%, yaitu dari 17.759 ton pada semester 1 2010, menjadi 18.955 ton.

Pieter menerangkan, nilai ekspor cocoa butter tak setinggi volumenya lantaran tahun ini harganya turun. Harga yang biasanya mencapai US$ 8.000 per ton kini cuma US$ 4.000 per ton. Ini akibat permintaan dari Amerika dan Eropa yang berkurang. "Tetapi secara keseluruhan kita masih untung karena harga bubuk kakao naik dari US$ 1.000 per ton menjadi US$ 5.000 per ton," imbuhnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Distribution Planning (SCMDP) Supply Chain Management Principles (SCMP)

[X]
×