Sumber: TribunNews.com | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Pemerintah berencana mengelurkan Peraturan Pemerintah (PP) terkait dengan hilirisasi dan pelarangan ekspor mineral mentah ke luar negeri, sebelum 12 Januari 2014. Menurut Menteri Perekonomian Hatta Rajasa, PP akan dikeluarkan sebagai peraturan turunan dari UU Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).
Lembaga Kajian Strategis Pertambangan dan Energi Indonesia atau Indonesia Mineral and Energy Studies (IMES) dalam rilisnya, Selasa (31/12), mengusulkan isi PP tersebut substansinya setidaknya mengatur hal-hal strategis menyangkut 3 (tiga) hal.
Pertama, penegasan terkait dengan ketentuan bagi pemegang Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) untuk segera jalankan program renegosiasi sebagaimana diatur dalam UU Minerba, khususnya terkait perubahan kontrak menjadi izin usaha pertambangan, luasan lahan (maksimal 25.000 ha), royalti, pengolahan dan pemurnian mineral dalam negeri, penggunaan barang dan jasa dalam negeri, serta divestasi saham.
Klausal ini mesti tegas, sebab seharusnya proses renegosiasi ini sudah selesai pada tahun 2010, atau satu tahun sejak UU Minerba diberlakukan. Faktanya, hingga saat ini, publik tidak mendapatkan keterangan terkait perkembangannya. Hatta Rajasa sebagai Koordinator Tim Evaluasi mesti bertanggungjawab untuk ini.
Kedua, bagi para perusahaan tambang skala besar pemegang KK dan PKP2B, agenda hilirisasi dan pelarangan ekspor mineral wajib diterapkan. Alasannya sederhana, produksi tambang mereka sudah puluhan tahun lamanya dan keuntungan yang diperoleh sangat besar sekali, jika dibandingkan biaya untuk pembangunan smelter.
Ketiga, peraturan pemerintah tersebut mesti memberi kesempatan pada pengusaha pertambangan nasional pemegang IUP yang baru tumbuh 3-6 tahun terakhir, yang telah berkomitmen tentang agenda hilirisasi dan telah membangun pabrik pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) untuk bisa tetap melakukan ekspor, dengan sejumlah syarat tertentu.
Diantaranya dengan kuota ekspor dibatasi dan diawasi ketat, kadar persentase produk konsentrat mineral yang boleh di ekspor, serta diberi tempo misalnya 2 (dua) tahun ekspor, sambil mereka menyelesaikan proses pembangunan smelter. Namun, di saat yang sama, pemerintah wajib membantu menyediakan infrastruktur pendukung smelter, terutama ketersediaan listrik.
Hal ini dimaksudkan agar usaha kecil dan menengah di sektor pertambangan, yang notabene modalnya tak sebesar perusahaan tambang asing pemegang Kontrak Karya dan PKP2B, dapat tetap tumbuh dan memiliki daya saing ekonomi. Selain untuk menghindari terjadinya PHK yang meluas. Proses ini mesti diawasi dengan sangat ketat oleh pemerintah.
Bagi perusahaan yang melanggar bisa segera dikenai penalti serta sanksi tegas, sampai dengan IUP-nya dicabut. Apalagi pembangunan dan produksi sebuah smelterĀ tentu akan menimbulkan dampak bagi lingkungan hidup (pencemaran B3) dan masalah tata ruang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News