Reporter: Dadan M. Ramdan | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Parlemen Eropa akhirnya menyetujui penundaan implementasi Regulasi Deforestasi Uni Eropa atau European Union Deforestation-Free Regulation (EUDR) selama satu tahun.
Dengan keputusan ini, kewajiban pemenuhan EUDR untuk pelaku usaha besar akan berlaku mulai 30 Desember 2025, sementara usaha mikro dan kecil diberi kelonggaran hingga 30 Juni 2026.
Penundaan ini bertujuan memberikan waktu tambahan bagi pelaku bisnis global untuk beradaptasi tanpa mengganggu tujuan utama regulasi.
Baca Juga: SPKS: EUDR Tidak Hambat Sawit RI Masuk Uni Eropa, Asal Pemerintah Transparan
Namun, respons Pemerintah Indonesia terhadap kebijakan EUDR menuai kritik. Pemerintah telah membentuk National Dashboard Indonesia melalui Keputusan Menko Perekonomian Nomor 178 Tahun 2024.
Dasbor ini diklaim akan memperbaiki tata kelola komoditas berkelanjutan dan mendukung sistem traceability yang sesuai dengan EUDR.
Sayangnya, sistem ini justru dinilai tidak sesuai dengan aturan EUDR itu sendiri. Pemerintah Indonesia berharap Uni Eropa akan mengacu pada Dasbor Nasional dalam implementasi EUDR.
Namun, Uni Eropa telah menegaskan bahwa mereka tidak akan menggunakan sistem informasi dari negara lain. Hal ini disampaikan dalam berbagai pertemuan bilateral.
Kritik terhadap Dasbor Nasional
Menurut Mansuetus Darto, Dewan Nasional Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), pengembangan Dasbor Nasional berpotensi menjadi bumerang bagi pemerintah. Sistem tersebut dinilai tidak transparan dan belum tentu mampu menjamin tata kelola komoditas berkelanjutan.
Baca Juga: Industri Sawit Hadapi Banyak Tantangan, Gapki Sebut Ini yang Harus Dilakukan
“Sejumlah isu penting tidak diadopsi dalam Dasbor Nasional. Sistem ini hanya bersifat administratif tanpa menjanjikan perbaikan signifikan dalam tata kelola komoditas bebas deforestasi dan pelanggaran HAM,” ujarnya, Selasa (17/12/2024).
Darto juga menyoroti minimnya akses publik terhadap informasi dalam Dasbor Nasional.
Data hanya dapat diakses oleh konsumen atau pihak yang telah diberi izin oleh otoritas. QR Code dalam sistem tersebut, yang memuat informasi kepatuhan perusahaan atau komoditas, tertutup bagi organisasi masyarakat sipil. Hal ini menimbulkan pertanyaan terkait transparansi dan akuntabilitas sistem tersebut.
“Jelas bahwa Dasbor Nasional tidak transparan. Data yang diinput pun belum tentu akurat dan dapat dipercaya untuk memastikan tidak adanya deforestasi,” tegas Darto.
Tumpang Tindih dengan Sistem Lain
Kritik senada disampaikan oleh Achmad Surambo, Direktur Sawit Watch. Ia mengkhawatirkan Dasbor Nasional akan menimbulkan tumpang tindih dengan sistem informasi yang sudah ada di berbagai kementerian, seperti SIPERIBUN (Kementerian Pertanian), INATRADE (Kementerian Perdagangan), dan CEISA (Ditjen Bea Cukai).
Baca Juga: Menilik Wacana Penerapan B40 di Tengah Stagnasi Produksi Sawit Nasional
Menurutnya, pemerintah seharusnya fokus mengintegrasikan sistem yang sudah ada dan mengembangkan Plantation Commodity One Map Indonesia (PCOPI) sebagai platform data spasial yang terintegrasi.
Rambo juga menekankan pentingnya penguatan tata kelola sawit dengan memberdayakan petani swadaya melalui empat langkah utama:
Penguatan data dan legalitas petani swadaya melalui pemetaan, pendataan, dan penerbitan STDB (Surat Tanda Daftar Budidaya).
Konsolidasi kelembagaan petani swadaya dengan membentuk koperasi yang profesional dan mandiri.
Perbaikan tata niaga sawit melalui kemitraan yang adil antara petani dan pabrik pengolahan.
Pengembangan pabrik kelapa sawit (PKS) mini yang dikelola oleh KUD atau BUMDes untuk meningkatkan nilai ekonomi petani.
Baca Juga: Hanya 6% Petani Sawit RI yang Akui Pernah Dengar UU Antideforestasi Eropa
Risiko Moral Hazard dan Transparansi Data
Akademisi Grahat Nagara dari STHI Jentera turut mengingatkan risiko moral hazard dari penerapan sistem seperti Dasbor Nasional. Ia menilai sistem ini berpotensi disalahgunakan jika tidak transparan dan terbuka untuk publik.
“Sistem informasi seperti ini seharusnya menjadi instrumen tata kelola yang akuntabel dan terbuka. Kasus ekspor ilegal minyak sawit menjadi contoh penting bagaimana pemerintah harus mampu mengontrol dan mengatasi asimetri informasi,” ungkap Grahat.
Di sisi lain, Sayyidatihayaa Afra, peneliti Satya Bumi, menilai sistem ini tidak akan meningkatkan kepercayaan pasar global jika tidak transparan dan kredibel.
Menurutnya, regulasi EUDR yang menekankan traceability dan due diligence harus dipenuhi dengan sistem yang jelas, bukan malah menimbulkan keraguan.
“Pemerintah berdalih aturan EUDR melanggar UU Perlindungan Data Pribadi. Padahal, UU Nomor 27 Tahun 2022 hanya melarang pembagian data individu tanpa persetujuan, bukan data komoditas seperti yang diatur dalam EUDR,” jelas Hayaa.
Baca Juga: Penuhi Aturan EUDR, Tata Kelola Sawit Diperbaiki
Pemerintah Pertahankan Dasbor Nasional
Menanggapi kritik tersebut, Musdhalifah Machmud, Staf Ahli Kemenko Perekonomian sekaligus Ketua Komite Pengarah Dasbor Nasional, menegaskan pentingnya sistem ini untuk menjaga keberlanjutan ekonomi nasional.
Menurutnya, Dasbor Nasional akan mendukung ekspor komoditas Indonesia ke pasar global, termasuk Uni Eropa.
“Dulu saat pandemi Covid-19, kita bisa melacak orang melalui PeduliLindungi. Barang yang diperdagangkan pun seharusnya bisa terlacak agar perdagangan menjadi lebih baik,” jelas Musdhalifah.
Selanjutnya: Cek Rekomendasi Saham SRTG, KLBF, dan PNBN Untuk Rabu (18/12)
Menarik Dibaca: Yogyakarta Hujan Ringan Mulai Sore, Pantau Prakiraan Cuaca Besok di DIY
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News