Reporter: Vina Elvira | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri baja nasional saat ini masih dihadapkan pada permasalahan tingginya impor baja yang masuk ke Indonesia.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), volume impor baja kode HS 72 sampai kuartal III-2021 tercatat sebesar 4,3 juta ton, lebih tinggi 20% dibandingkan periode yang sama tahun 2020 sebesar 3,6 juta ton.
Dari peningkatan tersebut, porsi impor terbesar merupakan produk baja Cold Rolled Coil/Sheet (CRC/S), yaitu sebesar 1,33 juta ton atau mengalami kenaikan 63% dibandingkan tahun 2020 812 ribu ton.
Mengutip keterangan resmi yang diterima Kontan.co.id, Senin (20/12), peningkatan impor yang terjadi akan semakin berdampak pada tingkat utilisasi industri baja nasional. Yang mana sampai dengan semester I-2021 hanya berkisar 40% (masih jauh dari kondisi good utilization sebesar 80%).
Baca Juga: Neraca dagang November surplus US$ 3,51 miliar, ditopang ekspor bahan bakar mineral
"Khusus untuk produk CRC/S, selain mengalami peningkatan sebesar 63% dari tahun sebelumnya, sebesar 700 ribu ton atau 53% nya merupakan CRC/S paduan,” kata Ketua Klaster Flat product Asosiasi Industri Besi dan Baja Nasional/The Indonesian Iron & Steel Industry Association (IISIA), Melati Sarnita.
“Kondisinya sama seperti yang terjadi pada produk HRC, dimana CRC/S impor tersebut sebenarnya merupakan produk sejenis (closely resembling) dengan yang diproduksi produsen CRC/S nasional, yaitu CRC/S karbon namun masuk sebagai CRC/S paduan dengan harga dumping. Dikhawatirkan kondisi tersebut akan terus berlangsung sampai kuartal II-2022 jika pemerintah tidak segera melakukan pengendalian, karena quota impor terus diberikan," tambahnya.
Mengacu pada database IISIA, saat ini produsen baja nasional tengah merencanakan dan melakukan berbagai investasi baru dalam rangka meningkatkan kapasitas produksinya. Investasi baru tersebut tentu diarahkan untuk mengisi kekurangan kapasitas dengan membandingkan tingkat konsumsinya.
Untuk produsen CRC/S nasional, ke depannya direncanakan akan ada penambahan fasilitas produksi, seperti halnya PT Krakatau Steel-Posco dengan penambahan Cold Rolling Mill kapasitas 1,2 juta ton/tahun, PT AM/NS Indonesia dengan penambahan Cold Rolling Mill kapasitas 500 ribu ton/tahun, PT Sunrise Steel dengan penambahan Reversing Mill kapasitas 200 ribu ton/tahun, dan juga PT New Asia International dengan penambahan Cold Rolling Mill kapasitas 800 ribu ton/tahun.
Baca Juga: Impor naik, BPS sebut pertanda pemulihan ekonomi mulai terjadi
"Bila dihitung secara total, nilai investasi yang sudah ditanamkan di industri baja mencapai sebesar US$ 15,2 miliar atau setara Rp 215 triliun, yang terdiri dari baja karbon (carbon steel) sebesar US$ 12 miliar atau setara Rp 170 triliun, dan baja nirkarat (stainless steel) sebesar US$ 3,2 miliar atau setara Rp 45 triliun," jelas Melati.
Dengan memperhatikan besarnya investasi tersebut, lanjut Melati, pemerintah perlu memberi perhatian terhadap investasi industri baja nasional melalui kebijakan yang berpihak dan saling terintegrasi.
“Investasi yang sangat besar secara konsisten sudah dikeluarkan oleh produsen baja nasional dari hulu hingga hilir, namun utilisasinya masih sangat rendah. Kami sangat berharap barang impor itu bisa dikendalikan agar produk kami bisa optimal di pasar domestik, selain juga dapat mendukung program pemerintah untuk substitusi impor dan Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN)," lanjut Melati.
Sebagai salah satu upaya pengendalian impor baja, IISIA telah mengusulkan kepada pemerintah serta mendukung pemerintah untuk segera mengimplementasikan neraca komoditas baja sebagai dasar pemberian izin impor sesuai amanat PP Nomor 28 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perindustrian dan PP Nomor 29 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perdagangan.
Hal tersebut dimaksudkan agar dalam pengajuan impor saat ini memperhatikan kemampuan suplai produsen dalam negeri. Harapannya, instrumen tersebut dapat digunakan sebagai basis perhitungan kebutuhan produk impor secara lebih adil dengan mempertimbangkan kemampuan suplai produsen dalam negeri.
Selain itu, pemerintah diharapkan dapat melakukan monitoring atas impor produk baja secara reguler setiap minggu atau setiap bulannya dan dapat menyampaikan kondisi impor tersebut secara lebih transparan kepada pelaku atau asosiasi industri.
Baca Juga: Krakatau Steel (KRAS) diproyeksikan bangkrut, ini tanggapan analis
Lebih lanjut, agar dapat kembali meningkatkan daya saing dan kinerjanya, industri baja nasional juga sangat membutuhkan dukungan dari pemerintah, utamanya dalam pengendalian impor.
“Produsen dalam negeri terus mengupayakan efisiensi untuk meningkatkan daya saing produk nasional, tapi apa yang kami lakukan ini belum cukup tanpa adanya support pemerintah khususnya terkait pengendalian pemberian izin impor. Hal tersebut akan sangat membantu peningkatan utilisasi dan perbaikan kinerja produsen baja nasional, serta pengamanan atas investasi yang saat ini sudah dan sedang dilakukan oleh produsen baja nasional”, tutup Melati.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News