Reporter: Meifita Dian Handayani | Editor: Test Test
JAKARTA. Rencana Uni Eropa menerapkan standar produk minyak ramah lingkungan dapat mengancam ekspor minyak sawit Indonesia dan Malaysia. Indonesia menganggap dalih Uni Eropa terlalu mengada-ada.
Pembahasan awal konsep Uni Eropa Directive on Renewable Energy and Fuel Quality (UE Directive) terjadi 11 September 2008 lalu. Rencananya, UE Directive bakal berlaku 2010 nanti. Untuk meyakinkan bahwa produk minyak sawit ramah lingkungan, delegasi Indonesia dan Malaysia melawat ke Brussel dan bertemu Parlemen Uni Eropa.
Indonesia menganggap, UE bakal mengategorikan minyak sawit sebagai produk yang kurang berkualitas dan tidak ramah lingkungan. "Dalam pertemuan itu, kami menyampaikan keberatan. Kami meminta minyak sawit jangan di diskreditkan," jelas Direktur Eksekutif Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Rosediana Suharto.
Rosediana menuding, UE memutuskan berdasarkan data secara sepihak. Ketika pihak Indonesia menanyakan bukti dan data ilmiah yang dijadikan acuan, pihak UE tidak bisa menunjukan. "Menurut mereka, ada batas emisi sehingga minyak sawit kita tidak bisa masuk ke pasar Eropa," jelasnya.
Padahal, menurut Rosediana, dibanding sumber biofuel lain, harga minyak sawit terbilang paling murah. "Jika diurut kan dari yang paling mahal, mulai minyak bunga matahari, rapeseed, soya, baru minyak sawit. Biofuel sawit kompetitif karena harganya rendah dan produktivitasnya tinggi," katanya.
Sebenarnya Indonesia sudah memenuhi standar produksi minyak sawit ramah lingkungan dengan memiliki sertifikat rountable sustainable palm oil (RSPO) "Tapi, kenapa sama-sama anggota WTO, kita malah diperlakukan tidak adil?" tanya Rosediana.
Sebagai produsen kelapa sawit terbesar di dunia, Indonesia cukup berharap banyak pada ekspor minyak sawit untuk bahan biofuel ke Eropa, China, India, dan Amerika.