Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktur Eksekutif Indonesian Petroleum Association (IPA) Marjolijn Wajong menyampaikan empat usulan utama dari pelaku sektor hulu migas terkait Revisi Undang-Undang (RUU) Migas.
Keempat hal tersebut ialah kepastian hukum, perbaikan fiskal, manajemen emisi karbon (CO2), dan institusi pengelola migas serta kemudahan perizinan.
Menurutnya, kepastian hukum merupakan hal yang sangat diperhatikan dalam persyaratan dan ketentuan production, sharing, contract (PSC). Ketentuan-ketentuan yang ada agar diakui dan dihormati dari awal sampai akhir kontrak.
Setiap permasalahan atau perbedaan pendapat terkait dengan implementasi kontrak PSC, termasuk jika ada temuan audit oleh auditor negara, harus diselesaikan sesuai dengan mekanisme penyelesaian perselisihan dalam kontrak, bukan dibawa ke ranah hukum pidana.
Baca Juga: Hadapi Sunset Industry, Pengamat: Revisi UU Migas Harus Segera Diselesaikan
Dalam hal perbaikan fiskal, menurut Marjolijn, perlunya dikembalikannya penerapan prinsip Assume & Discharge, dimana Kontraktor hanya diwajibkan membayar pajak-pajak langsung. Sedangkan pajak-pajak tidak langsung ditanggung atau dibayarkan oleh Pemerintah.
Selain itu, ketentuan tentang konsolidasi biaya pada satu perusahaan yang memegang lebih dari satu wilayah kerja agar diperbolehkan sebagai pengurang pajak (tax deductibility). Konsolidasi ini berpotensi menstimulasi minat investor untuk melakukan eksplorasi migas di Indonesia.
“Kemudian pemberian fasilitas Tax Holiday, Branch Profit Tax (BPT) exemption ketika diinvestasikan kembali di Indonesia, fasiltas impor barang (materlist), serta insentif fiscal untuk kegiatan CCS/CCUS dapat menarik minat investasi yang lebih besar di sektor Migas,” ujarnya, Senin (10/4).
Sementara untuk manajemen emisi CO2, IPA berharap ketentuan dalam RUU Migas dapat mendukung kegiatan penurunan emisi, termasuk kegiatan CCS/CCUS yang merupakan bagian terkait dari kegiatan hulu migas.
Sehingga biaya atau pengeluaran-pengeluaran terkait CCS/CCUS merupakan bagian dari biaya operasi karena manajemen CO2 sudah menjadi bagian dari perijinan berusaha (license to invest).
Sedangkan, terkait institusi pengelola migas, ia menyampaikan bahwa pelaku sektor hulu migas menyerahkan sepenuhnya kepada keputusan pemerintah.
Namun, dia berharap agar transisi dilaksanakan sebaik mungkin guna menghindari ketidakpastian bagi pelaku industri dan institusi tersebut diberikan kewenangan yang lebih luas dengan tanggung jawab langsung kepada Presiden.
Baca Juga: RUU Migas Jadi Barometer Keseriusan Indonesia Melakukan Transisi Energi
Institusi pengelola migas ini juga wajib bertanggung jawab dalam hal memperoleh seluruh ijin yang diperlukan dalam kegiatan operasi hulu migas dari Kementerian atau Lembaga baik di pusat maupun daerah, sehingga kontraktor dapat fokus pada upaya mencari dan menemukan cadangan migas.
“Kami tidak mempermasalahkan siapa insitusi yang nantinya akan ditunjuk oleh pemerintah. Tetapi yang menjadi poin utama bagi pelaku industri adalah bagaimana institusi tersebut harus kuat untuk mendukung upaya eksplorasi yang dilakukan,” kata dia.
Dia mengakui, UU Migas yang sudah berumur lebih dari 20 tahun ini dirasakan kurang dapat memenuhi tuntutan investasi saat ini dan yang akan datang.
Oleh karena itu diperlukan perbaikan dalam beberapa hal seperti ketentuan fiscal dan kemudahan investasi lainnya agar Indonesia bisa bersaing dengan negara lain dalam menarik investasi di sektor migas.
“Kita harus mengakui bahwa ada penurunan produksi migas dalam dua dekade terakhir, dan ini bisa diperbaiki jika keempat hal yang menjadi usulan pelaku industry tersebut dapat diakomodir melalui RUU Migas, sehingga ketahanan energi nasioanl dapat tetap terjaga,” kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News