Reporter: Tendi Mahadi | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Volume impor produk garmen diprediksi meningkat 10% pada tahun depan. Salah satu pemicunya adalah kenaikan upah buruh yang bisa mengerek biaya produksi para produsen garmen domestik.
Ketua Harian Asosiasi Pemasok Garmen dan Aksesoris Indonesia (APGAI), Suryadi Sasmita, menilai, kenaikan upah buruh bisa mendongkrak impor garmen di tahun depan. Maklum, kenaikan upah menyebabkan biaya produksi domestik meningkat. Peningkatan biaya produksi tentu mengerek harga jual.
Nah, untuk menyiasati membengkaknya biaya produksi, produsen garmen harus mengurangi produksi maupun penjualan yang berujung pada penurunan peredaran produk garmen nasional.
Menurut Suryadi, setiap produsen garmen skala besar rata-rata memiliki 300 toko. Sedangkan pelaku usaha garmen skala UKM memiliki sekitar 50 toko. Dengan asumsi per toko memiliki tiga pegawai, maka total pegawai yang dipekerjakan berkisar 500.000 orang.
Dengan kenaikan upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta dan sekitarnya menjadi Rp 2,2 juta per bulan, kata Suryadi, banyak pemasok garmen keberatan. Pengusaha pun dalam posisi dilematis antara mengurangi produksi atau mengurangi toko.
Namun, yang jelas, ujungnya sama, yakni penurunan pemasaran garmen buatan dalam negeri. Padahal, pertumbuhan penduduk terus naik sehingga permintaan garmen meningkat. Situasi ini, tentu, mengundang masuknya garmen impor.
"Hitungan saya, impor garmen tahun depan bisa naik 10%," ungkap Suryadi. Rata-rata konsumsi garmen dalam negeri sekitar 1,53 juta ton per tahun. Baru 60% dari jumlah itu dipasok produk lokal dan impor 15%. Sisanya, sebesar 25%, dipenuhi garmen ilegal.
"Pasar garmen sebenarnya lebih besar ketimbang yang tercatat," ujar Suryadi. Karena terimpit beragam masalah, terutama biaya produksi yang makin tinggi, Suryadi melihat, semakin banyak produsen garmen bantir setir menjadi importir dan pedagang.
Dari sekitar 800 perusahaan anggota APGAI, sekitar 90% bahkan sudah tak memiliki fasilitas produksi lagi. “Hampir 90% anggota APGAI beralih jadi trader. Mereka lebih senang membeli produk dari luar karena kalau bikin di sini makin mahal,” kata Suryadi.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sofyan Wanandi, sebelumnya, meminta pemerintah melonggarkan kebijakan upah buruh, terutama bagi pelaku industri kecil yang bermodal dan beromzet terbatas. Sofyan meyakini, pelaku industri besar bisa menerima kenaikan upah buruh, namun UKM sebaliknya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News