Reporter: Adinda Ade Mustami, Tane Hadiyantono | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penguatan nilai tukar dollar Amerika Serikat (AS) membuat rupiah semakin lemah. Kondisi yang terjadi sejak awal tahun, dan diperkirakan terus terjadi hingga semester kedua ini telah membebani pengusaha.
Beban berat itu terutama dirasakan oleh pengusaha yang mengandalkan bahan bakunya dari impor. Apalagi dengan biaya bahan baku yang semakin mahal, pengusaha juga kesulitan meningkatkan harga jual karena daya beli masyarakat masih lemah.
Salah satu industri yang terkena imbas pelemahan rupiah adalah makanan dan minuman. Pelaku industri ini banyak menggantungkan diri dari bahan baku impor, seperti gandum untuk bahan baku industri roti dan mie. Industri tahu dan tempe juga banyak mengandalkan impor kedelai dari Amerika Serikat (AS).
Tidak hanya itu saja, sejumlah bahan kebutuhan pangan lain juga banyak yang didapatkan dari impor. Seperti, daging sapi dan bawang putih.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman mengakui, mayoritas bahan pangan Indonesia berasal dari impor. "Gandum jelas impor, karena kita tidak bisa produksi. Produk susu 80% impor, garam 70% impor, gula 80% impor dan bahan perasa dan pewarna 60%-70% impor," terang Adhi, akhir pekan lalu.
Tak ayal, pengusaha makanan dan minuman khawatir efek pelemahan rupiah dibandingkan ancaman perang dagang. Menurut Adhi, acuan rupiah yang pengusaha gunakan adalah pada Rp 13.600 per dollar AS. Nilai itu sebenarnya sudah di atas asumsi rupiah pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2018 yang hanya Rp 13.400 per dollar AS.
Walau acuan rupiah yang digunakan pengusaha sudah diturunkan, namun kenyataannya nilai tukar rupiah lebih lemah lagi. Pada Jumat (6/7), posisi rupiah menurut Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia adalah Rp 14.409 per dollar AS. Dengan demikian, rupiah sudah terdepresiasi hampir 8% dari tutup tahun 2017.
"Bagi industri, bahan baku impor ini cukup berat, kalau harga pokok produksi (HPP) kita perkiraan 40% rata-rata, berarti kalau ada depresiasi rupiah 8%, maka ada kenaikan 3% HPP," terang Adhi. Ditambah kenaikan harga minyak dunia, HPP semakin besar. Dengan kondisi itu, HPP industri makanan dan minuman bisa naik 3%–6%.
Untuk mengimbangi kenaikan HPP, pengusaha bisa meningkatkan harga jual ke konsumen, agar keuntungan tidak tergerus. Namun hal itu susah dilaksanakan saat ini. Pasalnya, kondisi perekonomian tengah sulit. Daya beli konsumen belum pulih. Kenaikan harga jual akan menekan daya beli konsumen, sehingga ujung-ujungnya penjualan akan semakin tertekan.
Pertimbangan daya beli
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemkeu) Suahasil Nazara mengakui, pelemahan rupiah berimbas terhadap harga barang di pasar dalam negeri. Utamanya barang dengan bahan baku impor.
Meski demikian, dia yakin, pengusaha tidak gegabah menyesuaikan harga jual. "Pengusaha memperhitungkan juga daya beli masyarakat dan waktu tepat agar produknya tetap laku," terang Suahasil.
Daya beli masyarakat memang belum sepenuhnya membaik. Ini tercermin dari pertumbuhan konsumsi rumah tangga kuartal pertama 2018 yang masih berada di bawah 5%, yaitu 4,94% secara tahunan YoY.
Sedangkan menurut Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo, pengaruh perubahan nilai tukar rupiah tetap rendah, meski pelemahannya cukup tajam. "Produsen tetap menjaga pangsa pasar di tengah konsumsi masyarakat yang belum pulih," kata Dody.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News