kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Industri terkendala biaya untuk memenuhi persyaratan SNI


Selasa, 12 April 2011 / 07:30 WIB
Industri terkendala biaya untuk memenuhi persyaratan SNI
ILUSTRASI. Karyawan menunjukkan imitasi emas batangan Antam di Butik Emas, Jakarta, Selasa (3/3/2020).


Reporter: Veri Nurhansyah Tragistina | Editor: Rizki Caturini

JAKARTA. Rencana Kementerian Perindustrian (Kemperin) mengusulkan penerapan wajib Standar Nasional Indonesia (SNI) bagi 21 produk yang dipasarkan mendapat respon positif dari para pelaku industri di dalam negeri.

Sudarman Widjaya, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Mainan Indonesia (APMI), mengatakan, usulan itu sudah sesuai dengan aspirasi pelaku industri mainan. Sejak dua tahun silam APMI sudah mengusulkan pemberlakuan SNI ini. "Kami sekarang menunggu pemberlakuannya," kata Sudarman kepada KONTAN, Senin (11/4).

Menurut Sudarman, penerapan SNI mainan sudah mendesak, terutama untuk mengerem banjirnya impor mainan dari China. Sejak pemberlakuan perjanjian perdagangan bebas ASEAN-China (AC-FTA), produk mainan China bebas masuk ke Indonesia. Akibatnya, produk mainan lokal kian terdesak.
Produk mainan China lebih diminati lantaran harganya lebih murah. Padahal, kualitas mainan China kurang, bahkan untuk beberapa produk bisa berbahaya bagi anak-anak. "Pemberlakuan SNI ini menjadi safeguard bagi mainan lokal," tandas Sudarman.

Masalahnya, menurut Sudarman, pengusaha skala menengah dan kecil kerap kali terkendala biaya untuk mendapatkan SNI. Sudarman berkata, tarif resmi pengurusan sertifikat SNI sebenarnya hanya Rp 100.000. Namun, pengusaha harus mengeluarkan biaya Rp 40 juta-Rp 50 juta. "Yang mahal itu proses menuju SNI-nya," jelas Sudarman.

Kendala serupa juga dialami industri baja dan produk turunannya. Ario N. Setiantoro, Ketua Kluster Paku dan Kawat Indonesia Iron Steel Association (IISA) tak menampik adanya resistensi dari pelaku industri terutama dari sisi investasi untuk meningkatkan mutu produknya.

Menurut Ario, banyak pabrik paku dan kawat memakai mesin berusia tua. Padahal untuk lolos SNI, mereka harus meremajakan mesinnya. Masalahnya, investasinya cukup besar, berkisar Rp 20 miliar-Rp 30 miliar untuk kapasitas 1.000-2.000 ton per bulan. "Ini yang sering menimbulkan resistensi pengusaha," jelasnya.

Meski begitu, ia menambahkan, sebagian besar pelaku industri sudah menyatakan komitmennya mengikuti SNI. Di kluster paku dan kawat sendiri sudah ada produk wajib SNI, yaitu produk kawat baja pratekan untuk keperluan konstruksi beton.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×