kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.929.000   -4.000   -0,21%
  • USD/IDR 16.274   -99,00   -0,60%
  • IDX 7.927   68,06   0,87%
  • KOMPAS100 1.113   9,98   0,90%
  • LQ45 829   6,70   0,81%
  • ISSI 265   0,63   0,24%
  • IDX30 429   3,15   0,74%
  • IDXHIDIV20 497   3,62   0,73%
  • IDX80 125   1,07   0,86%
  • IDXV30 133   1,90   1,45%
  • IDXQ30 139   1,18   0,85%

Ini Catatan PHRI untuk Revisi UU Hak Cipta


Senin, 25 Agustus 2025 / 20:53 WIB
Ini Catatan PHRI untuk Revisi UU Hak Cipta
ILUSTRASI. Suasana pengunjung di restoran di Jakarta, Minggu (24/8/2025). /pho KONTAN/Carolus Agus Waluyyo/24/08/2025. PHRI menegaskan revisi UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta perlu menitikberatkan pada tata kelola penarikan royalti.


Reporter: Lydia Tesaloni | Editor: Tri Sulistiowati

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menegaskan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta perlu menitikberatkan pada tata kelola penarikan royalti.

Sekretaris Jenderal PHRI Maulana Yusran menilai aturan yang berlaku saat ini masih janggal. Misalnya, sengketa antara pencipta dan LMK yang sudah menyangkut uang royalti hanya diselesaikan lewat mediasi, tetapi hubungan antara LMK dan pengguna karya, meski baru sebatas penagihan, justru bisa berujung pidana.

“Padahal potensi penyelewengan justru ada pada relasi pencipta dan LMK, karena di situ sudah ada uang. Itu semestinya bisa masuk ranah pidana. Tapi anehnya, yang bisa dipidana malah pengguna yang baru sebatas ditagih,” kata Maulana kepada Kontan, Senin (25/8/2025).

Baca Juga: PHRI Minta Dilibatkan dalam Revisi UU Hak Cipta: Kami Pihak yang Berkepentingan

Maulana menilai, peran LMK  dalam sistem royalti terlalu besar dan melampaui mandat. Sesuai Pasal 88 UU Hak Cipta, LMK seharusnya hanya bisa beroperasi bila memiliki mandat minimal dari 200 pencipta dan 50 pemegang hak terkait. Namun, PP 56/2021 justru memberi kewenangan kepada LMKN untuk menarik royalti dari pencipta yang bahkan bukan anggota LMK.

“Kalau bisa pungut tanpa mandat, mereka ini bekerja untuk siapa? Hak pencipta untuk menentukan apakah lagunya mau dipungut royalti atau tidak jadi hilang. Itu pemaksaan,” tegasnya.

Ia menambahkan, banyak pencipta sebenarnya justru ingin lagunya bebas diputar agar populer. “Undang-undang sekarang memaksa semua ciptaan dipungut royaltinya. Padahal ada yang sifatnya sosial atau kebudayaan. Ini merugikan pencipta,” ujarnya.

PHRI juga menyoroti aturan Pasal 15 PP 56/2021 yang memperbolehkan dana royalti dijadikan dana cadangan. Menurut Maulana, hal itu tidak wajar. “Ini pungutan dari masyarakat, kok bisa dijadikan dana cadangan? Itu potensi penyimpangan. Seharusnya langsung disalurkan, bukan ditahan,” katanya.

Kasus pembayaran royalti oleh jaringan restoran Mie Gacoan disebut Maulana sebagai contoh ketidakjelasan sistem. Hingga kini, tidak diketahui jelas siapa penerima dana tersebut. “Menteri tahu tidak uang itu ke mana? Harus diaudit, karena ini dana publik,” ujarnya.

PHRI juga menilai PP 56/2021 gagal menjalankan mandat penting, yakni pembentukan Pusat Data Lagu dan Musik (PDLM) serta Sistem Informasi Lagu dan Musik (SILM). Kedua sistem yang seharusnya menjadi dasar penarikan royalti hingga kini tak kunjung ada.

“Kalau lagu saja tidak terdaftar di negara, bagaimana bisa dipungut royaltinya? Akibatnya semua dipukul rata, termasuk lagu kebangsaan dan tradisional yang seharusnya public domain,” ujar Maulana.

Dari sisi pelaku usaha, PHRI menilai target sasaran penagihan royalti juga belum jelas. Meski LMKN memastikan tidak menagih ke UMKM, belum ada landasan ataupun standar yang jelas terkait skala usaha yang dimaksudkan. 

Dus, pungutan lebih bergantung pada negosiasi LMK/LMKN dengan pengusaha. “Ini berbahaya, karena pungutan jadi berdasarkan tafsir sepihak,” ujarnya.

Karena itu, PHRI menuntut agar revisi UU Hak Cipta memperhatikan beberapa hal:

1. Mengembalikan hak pencipta untuk menentukan apakah ciptaannya ingin dipungut royalti.

2. Melibatkan pengguna karya (pengusaha) dalam penyusunan aturan.

3. Menjamin transparansi dan audit negara atas dana royalti.

4. Menghentikan praktik konvensional LMK, serta mengembangkan sistem digital.

“Pada akhirnya harus digitalisasi. Kalau sistem digital jalan, LMK konvensional tidak perlu lagi. Biarkan pencipta yang mendaftarkan sendiri kalau ingin dipungut royaltinya,” pungkas Maulana.

Baca Juga: Mendagri Izinkan Pemda Gelar Rapat di Hotel, PHRI: Bisa Dongkrak Okupansi

Selanjutnya: Potensi Ekonomi Syariah Besar, tapi Belum Banyak Tergali

Menarik Dibaca: Prediksi Newcastle vs Liverpool: The Reds Tantang The Magpies di St James' Park

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
[Intensive Workshop] AI-Powered Scenario Analysis Procurement Strategies for Competitive Advantage (PSCA)

[X]
×