Reporter: Cindy Silviana Sukma | Editor: Asnil Amri
JAKARTA. Rencana penggabungan perusahaan (merger) antara PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) dengan PT Pertamina Gas (Pertagas), anak usaha Pertamina telah mendapat restu dari pemegang saham mayoritas, yaitu pemerintah.
Sekadar mengingatkan, ada empat opsi merger PGAS-Pertagas yang telah dibahas dalam risalah rapat antara Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan dan Pertamina pada Selasa (7/1) lalu.
Pertama, merger antara PGAS dan Pertagas dengan posisi Pertamina sebagai pengendali melalui Pemegang Saham Istimewa (Golden Share) sekitar 30%-38%.
Kedua, pemerintah mengalihkan seluruh saham di PGAS ke Pertamina, sehingga Pertamina mengontrol penuh manajemen perusahaan hasil merger.
Ketiga, Pertamina menjadi pemegang saham minoritas di PGAS dan tak memiliki saham istimewa. Skema terakhir adalah PGAS mengakuisisi 100% saham di Pertagas melalui pembayaran tunai.
Akan tetapi, Pemerintah masih perlu mendapatkan persetujuan dari para pemegang saham independen, dalam hal ini publik. Maklum, selama ini publik memiliki saham yang lumayan besar dalam PGAS, yakni sekitar 43,03%. Sementara, Pemerintah masih menjadi pemegang saham mayoritas sebesar 56,96%.
Namun, tak semua pihak memandang usaha penggabungan dua perusahaan pelat merah ini akan menguntungkan PGAS.
David Nathanael Sutyanto, Kepala Riset First Asia Capital menilai, hasil merger PGAS dan anak usaha Pertamina akan berefek dua sisi (positif dan negatif) bagi PGAS, tergantung dari opsi yang akan dipilih.
Jika Pertamina memiliki saham dalam merger PGAS dan Pertagas, maka saham publik akan terdilusi. "Jika Pertamina akan menguasai sebagian saham perusahaan tersebut, maka saham publik akan terdilusi dari 43% bisa menjadi 26%-30%," ujarnya kepada KONTAN Selasa, (14/1).
Thendra Crisnanda, analis BNI Securities cenderung menilai penggabungan dua korporasi ini tidak menggembirakan bagi pemegang saham independen, baik dari segi transparansi maupun manajemen perusahaan nantinya.
"Dari segi cost (biaya) dan benefit, jika PGAS menjadi perusahaan privat, maka biaya yang dikeluarkan akan lebih besar. Sementara benefit yang didapat PGAS tak akan sebesar saat menjadi perusahaan publik," jelasnya.
Pasokan Gas Bertambah
Di sisi lain, David berujar, jika merger antara PGAS dengan Pertagas dapat menunjang pasokan gas dalam negeri. Misalnya, dengan tambang gas yang telah dikelola Pertagas, maka PGAS akan lebih mudah mendapat pasokan gas langsung, ketimbang dari pihak ketiga.
Akhmad Nurcahayadi, analis AM Capital berpendapat, hasil merger akan memberi kejelasan terhadap kebijakan jalur pipa distribusi yang sempat menganggur. "Ketidakjelasan open access dan jaringan pipa distribusi dan transmisi dapat diselesaikan secara positif karena dikendalikan langsung dari satu perusahaan," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News