Reporter: Tantyo Prasetya | Editor: Rizki Caturini
JAKARTA. Sepanjang semester I-2017, PT Garuda Indonesia Tbk membukukan rugi bersih sekitar US$ 283,8 juta. Angka ini naik 349% dibandingkan periode sama tahun lalu yang senilai sekitar US$ 63,2 juta.
Kenaikan rugi bersih tersebut salah satunya pada April 2017 ada pencatatan transaksi pengampunan pajak senilai US$ 137 juta. Selain itu, emiten berkode GIAA di Bursa Efek Indonesia harus menanggung denda US$ 8 juta akibat kasus persaingan usaha, yaitu bisnis kargo pada 2012 lalu.
Lantas, apa rencana Garuda ke depan memperbaiki kinerja perusahaan? Bisa dibilang pertengahan 2017 masih menjadi tahun yang sulit bagi Garuda memperbaiki performa.
Direktur Utama Garuda Indonesia, Pahala N. Mansury mengatakan, Garuda Indonesia akan menjalankan sejumlah strategi agar performa Garuda kembali kuat. Dari sisi operasional misalnya melalui optimalisasi armada rekonfigurasi seat serta peningkatan konektivitas jaringan penerbangan, renegosiasi kontrak dengan lessor dan produsen pesawat. "Kami baru berhasil renegosiasi satu lessor dari total 27 lessor yang ada," katanya, Selasa (8/8).
Untungnya, kinerja Garuda bisa terdorong karena anak usaha, PT Citilink Indonesia membukukan pendapatan US$ 3,5 miliar pada semester satu lalu. Pahala mengakui, industri penerbangan murah atau low cost carier (LCC) menjadi tantangan tersendiri di bisnis aviasi.
Sebab itu Garuda akan serius mengembangkan Citilink dalam persaingan pasar LCC. Apalagi 70% penerbangan masih berasal di rute domestik.
Maskapai milik negara ini akan menambah dari 189 pesawat menjadi 235 pesawat dalam tiga hingga 4 tahun ke depan. Garuda juga berharap dari rencana pencatatan saham perdana atau initial public offering (IPO) anak usahanya, PT Garuda Maintenance Facility (GMF) pada September nanti.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News