Sumber: Kompas.com | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Dana asal China, tak hanya mengucur deras di Inggris, dan Amerika Serikat, melainkan juga di Indonesia. Intensifnya penanaman modal mereka di pasar properti, khususnya Jakarta, melalui perusahaan pembiayaan (fund) ataupun pengembang semakin menguat dalam dua tahun terakhir.
Sebut saja raksasa Hongkong Land Holdings Limited, dan juga China Sonangol Land. Keduanya secara agresif menancapkan cengkeraman dananya di properti-properti komersial dengan profil tinggi di pusat bisnis (central business district/CBD) Jakarta.
China Sonangol Land diketahui mengakuisisi EX Plaza Indonesia, Thamrin, Jakarta Pusat, untuk dikonversi menjadi pengembangan multifungsi EX Building yang mencakup perkantoran, ruang ritel, kondominium, dan service apartment.
Selain mengakuisisi EX Plaza, China Sonangol Land juga bermitra dengan Sampoerna Group. Keduanya sepakat akan membangun dua menara baru Sampoerna Strategic Square di Jl Jendral Sudirman, dengan kapasitas area sewa seluas 234.000 meter persegi. Kedua gedung ini berdiri di atas lahan seluas 34.735 meter persegi.
Sedangkan Hongkong Land Holdings Ltd akan mengembangkan proyek residensial di BSD City, Serpong, Tangerang Selatan, Banten. Proyek yang akan dikembangkan, selapang 68 hektare. Mereka membeli lahan dari PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE).
Sebelumnya, perusahaan raksasa kelas dunia tersebut telah berkolaborasi dengan PT Brahmayasa Bahtera, sayap bisnis properti milik Astra International. Mereka membangun sebuah proyek multifungsi yang terdiri atas apartemen (Anandamaya Residences), perkantoran, dan hotel, juga di kawasan Sudirman.
Selain dengan Astra, Hongkong Land juga sudah lama menjalin aliansi strategis dengan PT Jakarta Land yang sebagian besar sahamnya dimiliki Central Cipta Murdaya Group. Hasil kerja bareng ini adalah kepemilikan properti premium di lokasi utama yakni Wisma Metropolitan I, Wisma Metropolitan II, World Trade Centre I, dan World Trade Centre II.
Tak puas sampai di situ, Hongkong Land berencana membangun CBD Kemayoran di Jakarta Pusat, bersama Central Cipta Murdaya Group di atas lahan seluas 44 hektare. Proyek ini digadang-gadang membutuhkan investasi senilai Rp 80 triliun.
CEO Leads Property Indonesia, Hendra Hartono, mengatakan, kehadiran perusahaan sekelas Hongkong Land dan China Sonangol, semakin memperkuat Jakarta sebagai destinasi investasi properti utama dunia.
"Padahal, kurun lima tahun lalu, secara tradisi, perusahaan investasi ataupun pemain properti dari Hongkong dan China daratan hampir tidak pernah tertarik untuk investasi properti di Indonesia, mereka lebih cenderung membawa modal ke China daratan," ujar Hendra, Rabu (2/4) seperti dikutip dari Kompas.com.
Akan tetapi, lanjut Hendra, orientasi berubah. Dalam tiga tahun terakhir justru investor Hongkong, dan China yang semakin agresif, menyusul kehadiran investor asal Jepang dan Korea. Sementara investor regional dari Singapura, dan Malaysia, tidak menunjukkan minat lebih tinggi.
"Tentu mereka melirik Indonesia, khususnya Jakarta, karena kenyataan bahwa pangsa pasar menengah sangat besar dan potensial. Selain itu, berinvestasi properti di China juga sudah mulai jenuh dengan harga properti yang terlalu tinggi. Tapi, yang paling utama adalah properti China sudah bubble," urai Hendra.
Bukan properti
Selain Hongkong Land dan China Sonangol Land, terdapat investor lainnya yang juga berminat masuk Indonesia. Bahkan jumlahnya lumayan banyak. Mereka termotivasi untuk melakukan diversifikasi usaha di luar bisnis inti mereka.
Menurut Associate Director Research and Consultancy Knight Frank Indonesia, Hasan Pamudji, bisnis inti mereka adalah manufaktur, pertambangan, telekomunikasi bahkan material bangunan.
"Hanya, investasi mereka bukan dalam skala besar. Skala menengah dan kecil. Dana mereka ditanamkan di proyek-proyek besar dengan harapan mendapat keuntungan yang besar," ujar Hasan.
Pendapat serupa juga dikatakan Hendra. Menurutnya, para investor individual jumlahnya jauh lebih banyak ketimbang investor lembaga. "Mereka membeli properti ataupun patungan modal (joint venture) untuk diperjualbelikan kembali ke investor lainnya setelah beberapa tahun dibangun. Hal ini sudah sangat umum terjadi di negara-negara maju, dan China sendiri," tandasnya.
Fenomena jual beli properti sesama investor tersebut, imbuh Hendra, merupakan bagian dari maraknya bisnis properti. Bagus juga buat pendanaan pengembang properti lokal dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas produk properti. "Dengan begitu, produk pengembang kita bisa naik kelas, dan disejajarkan dengan produk internasional lainnya," pungkas Hendra. (Hilda B Alexander)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News